Manusia
memang ditakdirkan untuk meninggal pada suatu waktu, tetapi tidak akan pernah
mati jika ada karya yang ditinggalkan. Demikian hidup bertumbuh di atas
kematian. Namun kematian selalu menyisakan kenang. Adanya kematian oleh sebab
adanya kehidupan. Sebagaimana awal mula manusia diciptakan dari debu tanah dan akan kembali menjadi debu.
Foto: Istimewa |
Tulisan
ringan dan singkat ini, didedikasikan kepada Si Burung Merak. Melalui tulisan
ini pula, saya mengapresiasi setiap mereka yang masih sempat mengenang walau
sebatas doa di hati, di puisi, di panggung dan di wujud-wujud apresiasi
lainnya.
Tentang
Si Burung Merak, tentunya masih hangat dalam benak kita akan Budayawan,
Seniman, Sastrawan legendaris yang membongkar eksklusifnya dunia sastra. Ialah Willibrordus Surendra Broto Rendra (W.S. Rendra), almarhum. Rendra lahir
di Solo pada tanggal 07 November 1935 dan meninggal dunia pada tanggal 06
Agustus 2009 dalam usia 73 tahun.
Karya-karya
Rendra berupa puisi, cerpen, esai sastra, skenario drama dan juga mendirikan
Bengkel Teater. Beberapa karya yang pernah digelar adalah Oedipus the King, Antigone,
Lysistrata, dan lain-lain. Semua
disajikan dalam ramu yang berakar pada Bertold Brecht (Penyair dan penulis
naskah drama asal Jerman). Brecht adalah salah satu tokoh yang menentang
kekuasaan Nazi, terutama ideologinya.
Sebagaimana
Brecht, Rendra pun melakukan gerakan yang sama dengan menyajikan
masalah-masalah sosial dan politik (melawan kesewenang-wenangan pemerintah Orde
Baru). Itu sebabnya, Rendra dalam beberapa karyanya, seperti Perjuangan Suku Naga, Panembahan Reso mendapat tekanan dari
pemerintah karena dianggap melawan.
Si
Burung Merak sendiri adalah julukan yang diberikan oleh seorang sahabatnya asal Australia ketika Rendra mengajaknya
jalan-jalan ke Kebun Binatang Gembira Loka, Yogyakarta. Di tengah khusyuk
mengamati binatang-binatang yang dikandangkan, tibalah mereka di kandang burung
merak. Saat itu ada tiga merak jantan mengembangkan ekornya. Ada keindahan yang
ditawarkan dan mereka benar-benar menikmatinya.
“Itu
(burung merak) saya!” kata Rendra kepada sobatnya yang menanyakan (dalam nada
canda) alasan diajak ke sana. Seketika sobatnya mengiyakan sekaligus merestui
kalau “keindahan” dari burung merak sangat cocok untuk Rendra. Sejak saat itu
(sekitar tahun 1968), Si Burung Merak disematkan dan menyebar dimana-mana,
terutama bagi para pegiat dan penikmat sastra.
Geliatnya
dalam dunia seni khususnya sastra telah membawa suatu perubahan besar dalam
khazanah sastra Indonesia dan tentunya dunia. Sebab dalam beberapa periode
tertentu bahkan hingga saat ini, sebagian orang masih menjadikan sastra sebagai
dunia yang terlampau eksklusif.
Ada
asumsi bahwa dunia sastra hanya dihuni oleh orang-orang sastra (para pegiat).
Hal ini pun yang menjadi sumber kegelisahan bagi Mario Vergas LIora (Novelis
dan Politikus asal Peru, Peraih Nobel Sastra tahun 2010). Mario menandaskan
bahwa dewasa ini sastra dibutuhkan hanya sebagai produk konsumsi, hiburan
semata-mata, dan sumber informasi yang cepat basi. Menjawabi kegelisahan Mario
Vergas, jauh sebelum itu W.S. Rendra adalah salah satu tokoh yang mengembalikan
sastra ke dunianya.
Ia
kembali mendekatkan sastra kepada masyarakat. Sebagai contoh, tampilan puisinya
berbeda dengan puisi-puisi konvensional yang cenderung kaku dan sulit dipahami
oleh sebagian besar masyarakat. Tanpa harus berkerut kening, sedikitnya pembaca
sudah bisa memaknai image yang hendak
disampaikan.
Kecenderungan
Rendra menulis puisi naratif dan panjang menggambarkan “perlawanan” dalam
berbagai wujud. Selain itu, puisi-puisinya memang lahir sebagai suara rakyat.
Rendra dalam sebagian besar karyanya menjadikan situasi rakyat sebagai image yang paling intim.
Melalui
motivasi dan intensi di dalam
karya-karyanya, hemat saya Rendra adalah sosok penyelamat dan “sempurna” (dalam
ide). Entah kebetulan atau tidak, kelahirannya di tanggal 7 menyisakan makna
yang mendalam. Semua kita tentu tahu, bahwa angka 7 dalam berbagai mitos
ataupun ajaran-ajaran agama merujuk pada keberuntungan, kesempurnaan,
keselamatan, dan lain sebagainya.
Salah
satu dari sekian banyak makna yang tersembunyi dalam angka 7 ialah keyakinan
bahwa Sang Budha (Sidharta Gautama) ketika lahir menapaki 7 langkah. Sang Budha mencari keselamatan selama 7
tahun dan mengitari pohon bodhi
selama 7 kali sebelum akhirnya duduk bermeditasi.
Tidak
bermaksud untuk membuat perbandingan, tetapi Rendra sebagai Sastrawan (Penyair)
yang lahir di tanggal 7 telah ditakdirkan Yang Transenden. Ketahuilah bahwa
Penyair ketika menulis puisi ia seperti bermeditasi, setingkat di atasnya ialah
kontemplasi.
Dalam
berbagai pernyataan kita menjumpai istilah “kontemplasi puisi”. Sebab pada
dasarnya, Penyair menulis puisi melalui perenungan mendalam setelah menentukan
ide atau citraan. Penyair masuk ke dalam dunia sunyi dan bergumul dengan
kata-kata. Seperti rahim imaji yang “dibuahi” dan lahirlah puisi.
Demikian
sedikit tentang Sang Maestro. Ia telah lahir untuk “menyelamatkan” rakyat dari
kesewenang-wenangan dan juga menyelamatkan puisi dari para elit sastra. Semua
diramu di dalam karya-karyanya yang mempesona, seperti ketika burung merak
mengembangkan ekornya.
Semua
kita tentu sudah pernah atau saat ini tengah membaca karya-karya Sang Maestro.
Baiklah, di akhir tulisan ini saya melampirkan salah satu puisi W. S. Rendra.
Adalah puisi terakhir yang ditulisnya tanpa judul:
Aku
lemas
Tapi
berdaya
Aku
tidak sambat rasa sakit
atau
gatal
Aku
pengin makan tajin
Aku
tidak pernah sesak nafas
Tapi
tubuhku tidak memuaskan
untuk
posisi yang ideal dan wajar
aku
pengin membersihkan tubuhku
dari
racun kimiawi
Aku
ingin kembali pada jalan alam
Aku
ingin meningkatkan pengabdian
kepada
Allah
Tuhan,
aku cinta padamu
Rendra, 31 Juli 2009
***
Insaka,
07 November 2018
Herman
Efriyanto Tanouf
Sumber:
Kompas.com
(07/08/2009). Asal Muasal Julukan “Si
Burung Merak”. Diakses 07 Nov.
2018. Pukul 14:00 Wita.
Merdeka.com/willibrordus-surendra-broto-rendra/profil/
Diakses 07 Nov. 2018/ Pukul 14:15 Wita.
Comments