Puisi dan Perjalanan Batin Penyair Kereta



Foto: Capture from floressastra.com

Epilog Buku Puisi Penyair Kereta
(Refleksi atas Kumpulan Puisi Ribuan Jejak di Pelataranmu, karya Julia Daniel Kotan)

Puisi sebagai proses kreatif imajinasi adalah suatu manifestasi penulis yang beranjak dari gelora kecemasan atau kegelisahan. Situasi, dalam hal ini pengalaman yang merasuk emosi dan jiwa (psike) bahkan turut mempengaruhi ide pengarang terejahwantah dalam karya sastra (puisi) sebagai ziarah imaji. Moment ini hanya akan terjadi ketika penyair memasuki perjalanan jiwa (batin). Terkait dengan jalannya jiwa, penyair seolah berada pada situasi sunyi. Freud menandaskan bahwa penulis sebenarnya membiarkan dirinya sendiri untuk hidup di dalam dunia khayal mereka, sehingga efektif menyibak prinsip realitas, lalu menggunakan fantasi mereka secara kreatif[1]. Artinya bahwa proses kreatif ini menyata dalam dunia sunyi; dunia imaji. Selanjutnya Abdul Wachid B. S menyebut proses kreatif ini dengan jalan spiritual; di mana penyair hanya bertugas sebagai pelaksana dari suara ruh. Sementara itu, ruh memerlukan badan, yakni bahasa, dan karenanya suara ruh itu meminta bahasa agar dapat meruang dan mewaktu[2]. Suara ruh inilah yang kemudian meminimalisir kegelisahan setelah penyair melahirkan puisi.

Demikian ketika membaca buku kumpulan puisi Ribuan Jejak di Pelataranmu karya Julia Daniel Kotan (JDK) yang dalam dunia kepenyairan lebih dikenal dengan julukan “Penyair Kereta”, saya cenderung untuk melihat sisi kreatifnya dalam melahirkan puisi – puisi bernas. Lebih jauh dari itu, motif ini timbul dari latar belakang kehidupan penyair yang menciptakan dunia sunyinya di tengah kebisingan. Agar tidak terjerat pada subjektivitas, maka dalam upaya menemukan proses kreatif Penyair Kereta, saya menyelaminya dalam menu puisi yang dihidangkan pada jiwa buku ini.

Sarana Kepuitisan dalam Ribuan Jejak di Pelataranmu

Kajian terhadap puisi tidak terlepas dari struktur, unsur, dan sarana kepuitisan. Kepuitisan dapat dicapai melalui beberapa cara, diantaranya: tipografi dan susunan bait; persajakan, asonansi, aliterasi, kiasan bunyi, lambang rasa, dan orkestrasi; dengan pilihan diksi, bahasa kiasan, sarana retorika, dan sebagainya (Hasannudin, 2002). Aspek kepuitisan sangat menentukan dan memberi gambaran tentang sejauh mana penyair mempunyai daya cipta yang orisinal, serta memberi pengertian kepada pembaca (Pradopo 1978:35). Karya sastra (puisi) bermediakan bahasa. Bahasa itu sendiri ketika belum menjadi sajak, telah mengandung makna tertentu (sistem semiotik tingkat pertama). selanjutnya ketika menjadi sajak, bahasa ditingkatkan sistemnya menjadi makna (significance) sebagai semiotik tingkat kedua (Pradopo, KR, 17 Januari 1988). Terkait dengan konsep ini, Sangu adalah salah satu puisi JDK yang hemat saya mampu menjawabi tuntutan tersebut. Berikut penggalan puisi Sangu:

Persis aku mencarimu persis kau mencariku
Aku dan kamu cari mencari
Itulah hidup nang donya

Ini  penting

Walau pontang panting dengan kain rok dicincing
Kain celana ujung dilinting banjir sandal sepatu dijinjing
Tas nyelempang ke samping udut rokok mung sak linting
Ketemu orang penting yang beri anting - anting
Sebagai saweran samping sebelum semua diontang -anting
Akhirnya ambrol berkeping nek sembrono le nanting

Bergegaslah

Rejeki lari ketiwasan bangun kerinan rejeki sepi keduluan sawan
Rejeki madep mantep datengnya kalau ngawaki semangat dari mulanya
Kabehane tergantung karo niat lan kaberkahane sing memberi urip
Berburu dengan kereta ke Ibukota

Ketika membaca puisi Sangu, pembaca akan mengalami getaran-getaran perasaan dan memungkinkan adanya senyum bahkan tawa kecil. Bukan guyonan atau lelucon, tetapi gertak keindahan yang menggema dalam gaya bahasa, serasinya pilihan diksi, pengulangan bunyi, asonansi, dan beberpa unsur pembentuk lainnya. JDK membuka puisi Sangu dengan situasi hiruk-pikuk yang dicumbui oleh setiap penumpang kereta (keterwakilan). Selanjutnya pada bait ketiga kegaduhan begitu meraja. Perhatikan pilihan diksi dengan akhiran “ing” atau berima akhir “ng” yang  menghasilkan suara gemirincing pintalan rel kereta dan riuh-risih penumpang. Selain itu, bunyi konsonan mengisyaratkan kepengapan yang tidak dapat dihindari. Kemudian pada bait ke-4 yang kebetulan satu baris, adalah isyarat bahwa rejeki tidak akan menunggu. Kepada rejekilah kita seharusnya berlari dan mendapatkannya, tanpa peduli pada bentangan perjalanan yang mungkin tiada berhujung. Meskipun demikian, pembaca pada umumnya akan dipaksa untuk mengerti secara baik beberapa diksi yang sangat kental dengan bahasa Jawa. JDK memadukan culture bahasa yang sepadan. Saya teringat akan konsep Roman Jakobson (Filsuf kalahiran Moskow, 1896-1982) yang mendefenisikan fungsi puitik sebagai seperangkat (eintellung) yang mengarah kepada pesan secara terpusat pada pesan itu sendiri, sehingga menjadi fungsi puitik bahasa. 

Sangu sendiri sebagai rejeki (bisa berupa bekal) sesungguhnya merupakan salah satu motif utama dalam ekspresi jiwa (ziarah) dari penyair. Dalam konotasinya, bekal yang ingin diperoleh melingkupi kebutuhan jasmani sekaligus aspek rohaniah (tuntutan jiwa) sebagai buah dari suatu perjalanan panjang.

Selain puisi tersebut, puluhan puisi lainnya dalam buku ini menyiratkan sekian banyak dinamika yang ditawarkan. Dinamika pada batasan ini adalah sebuah proses untuk mentransformasikan esensi makna yang ingin dikomunikasikan melalui unsur-unsur pembentuk puisi. Sehingga dengannya penyair dapat menemukan sarana komunikasi yang tepat (fase ontologis), lalu dengan sederhana berusaha untuk mengkomuikasikannya kepada setiap penikmat (fase epistemologis) dan akhirnya dapat dijawab pertanyaan (kegelisahan dan kecemasan) tentang alasan mendasar mengapa puisi-puisi itu dilahirkan (fase aksiologis).

JDK dalam perjalanan melewati ketiga fase tersebut terkadang membuatnya lelah bahkan “pincang”. Sebagian tapak-tapak kecil terlewati atau terlupakan. Aliran puitik yang mencuat begitu derasnya, menjadikan penyair nyaris lupa mendandani puisi-puisinya dengan sarana yang tepat. Beberapa puisinya tentu saja membuat pembaca berkerut kening. Semisal dalam puisi Tanya?, terdapat tanda (tanya) yang kental akan tipografinya; sesekali bisa saja menimbulkan pertanyaan akan maksud di balik Tanya? ini. Sebab esensi sebuah puisi dalam hubungannya dengan imajinasi seharusnya diperhatikan decorative image, intense image (Wells, 1961),  agar tidak terjadi vacum image. Perhatikan puisinya:

Tanya?
Kelopak mawar pun rela meluruhkan diri
Saat pesona lain yang lebih alami dan tak berduri
Mengambil apa yang menjadi milik diri
Mengunjungi dengan cara sembunyi
Dan terbata di sini
Mengeja
Tanya
????
???
??
?

Kendati demikian, tanda (semiotika) yang dihadirkan merujuk pada kelelahan setelah melewati perjalanan panjang. Ada saat di mana kata itu tiada; hanya tanda sebagai bahasa isyarat. Ada saat di mana imajinasi terkungkung dan hanya mampu dalam sederet tanda (?). Ada saat di mana perjalanan tanpa pertemuan, hanyalah penyair seorang diri. Pada fase ini JDK mengajak pembaca untuk sejenak berpikir dalam tanda sebagaimana yang dikemukakan oleh Pierce (filsuf Amerika, 1839) dengan semiotikanya dan Saussure (filsuf Jenewa, 1857) dengan dasar linguistik modernnya (semiologi).

Puisi dan Perjalanan Batin: sebuah Interpretasi

Dalam sebuah ulasan pada website floressastra.com dengan judul artikel: Potret Kegelisahan Penyair Kereta: Refleksi atas Puisi “Yin dan Yang”[3], sedikitnya dibeberkan usaha kreatif  Penyair Kereta dalam melahirkan puisi. Di sana, kegelisahan yang dialami sebagai suatu bentuk ekspresi kejiwaan ketika menghadapi situasi dilematis. Kegelisahan yang lahir sebagai akibat dari sandingan Yin dan Yang; pertautan antara gelap dan terang; serasi antara tawa dan air mata. Lalu, datanglah kepada kreatifitas Penyair Kereta itu sendiri. Lebih jauh dari itu, JDK dalam dilematisnya (gelisah) mengandaikan tengah menapaki sebuah persimpangan. Perlu diketahui bahwa persimpangan identik dengan sebuah perjalanan.

Pengalaman perjalanan adalah separuh nafas yang menjiwai puluhan puisi dalam buku ini. JDK dalam rahim imajinya melahirkan janin puisi yang secara mutlak mencerminkan hidup dan kehidupannya. Konsep perjalanan dimaksud lebih kepada ziarah imajinasi yang ia kais dari rahim kereta dan segala bentuk perjumpaan dengan individu dalam potret realitas dan perintah alam bawah sadar. Perjalanan JDK menyata dalam buah sulungnya ini. Demikian puisi sebagai sebuah perjalanan menghendakinya untuk mengawali langkah dengan tapak pertama; puisi dengan judul Jejak – Jejak di Pelataranmu. Jejak-jejak di sini menyiratkan ribuan jejak yang dapat ditelusuri pada puisi-puisi selanjutnya.

Perjalanan menghadirkan perjumpaan. Dalam ziarah imaji JDK bersua dengan sosok berahim; ialah kereta yang tidak sebatas pada alat transportasi sebagai pelancar perjalanan, tetapi lebih kepada kereta yang adalah puisi. Gambaran ini jelas dalam Sajak Kereta (1). Berikut beberapa penggalan baitnya.

Sajak kereta ini tak akan berhenti menyambutmu
Perasaan harap cemas
Bahagia suka
itu geliat hati
Saat bertemu denganmu
                         
Hari ini kau dapat senyumku
Kau tepat menjemputku
Tadi pagi kau
kusumpah dengan serapahku
Jam efektif pagiku kau cemari
Gangguan alasan persinyalanmu
Walau selamatlah
kedatanganku

Bait pertama dan kedua dalam sajak tersebut melukiskan perjumpaan yang mengobati kegelisahan penyair akan hari kemarin ketika mencumbui ketelatan akan keseharian. Perhatikan kegirangan penyair yang menyambut kedatangan jalaran perut kereta dengan geliat hati dan umbaran senyum. Tidak sebatas isyarat, pada bait ke-9 luapan bahagia itu muncul dalam sebaris naratif: “Terima kasih kawan, tanpamu apalah jadinya kami...”. Ekspresi perasaan tersebut pada tahapan tertentu membuahkan cinta yang universal. Oleh karenanya, dalam sajak Dunia Pewayangan Cinta, JDK secara kental mengungkapkan kekuatan cinta yang memampukan ia begitu kokoh menjejaki pelataran hidup. Meneropong beberapa penggalan bait berikut:

Mengukir keindahan di wajah langit
Mengirim keagungan cinta pada yang kita harapkan
Kita lukiskan dengan sekuat tenaga cinta
Serupa siapa kita khayalkan
Semirip siapa menari-menari dalam dunia pewayangan cinta

Seusia rasa menggelora
Tak cukuplah menahanmu tuk selalu mengeram
Bertahan di tahta taman hati begitu rapuh teperdaya
Melambai pesona bayang melingkupi buana
Berbagai pelabuhan disinggahi kapal-kapal dengan saudagarnya
Membawakan rupa-rupa perhiasan dan tawaran

Menyelinap membagikan madu
Tawar, asin, dan beradu di pelataran terhampar
Singgah dan melaju
Sebentar
lalu lama tak berbekas
Mengantar lagu rindu
Meninggalkan jejak tak ingin bersatu

Terlepas dari cinta kepada seorang kekasih (suami) atau anak-anak, penyair pada tahap ini menginginkan laju kehidupan yang dilandasi oleh keagungan cinta. Langit pada dasarnya terarah pada sesuatu yang tidak dapat dijangkau. Begitupun dengan cinta yang diharapkan adalah cinta yang tak terjangkau takarannya.  JDK dalam potretnya mengandalkan kekuatan cinta sebagai pedoman dalam mengayuh lajunya sebuah perjalanan. Agar cinta tidak diklaim sebagai perasaan semata, penyair berusaha menghadirkan pilihan diksi dan kata-kata konkret yang melandasi sebuah ziarah seperti: “pelabuhan”, “kapal-kapal” dan “saudagar”. Citraan power of love dalam bait ke-1  adalah gerbang masuk bagi bait ke-2 terhadap perjalanan itu sendiri. Gelora cinta itu seperti madu, tapi ketahuilah bahwa cinta tak selamanya serasa madu dan susu, ada saat di mana cinta begitu tawar dan asin. Sebagaimana jalan-jalan penuh tantangan dan rintangan (fase putus asa); jalanan tidak begitu mulus pada pelataran yang diimpikan. Keputusasaan membawa penyair untuk berjalan dan mencari sandaran yang kuat, sehingga dengannya ia tidak tersendat langkah[4].

Sandaran dalam citraan penyair dapat ditemukan dalam sajak Doa Ibuku dan Sang Burung (1), Doa Ibuku dan Sang Burung (2). Adalah suatu refleksi untuk kembali kepada masa lalu tentang bagaimana upaya seorang Ibu yang adalah petani. Ibu adalah segalanya bagi seorang anak. JDK menyadari bahwa amanah yang dititahkan sang ibu dalam keseharian adalah sebait doa yang senantiasa melingkari ziarah sang anak dengan radius tak terhingga. Doa ibu yang disandingkan dengan sang burung melukiskan sosok petani (sawah). Latar persawahan dengan padi yang merunduk dan menguning serentak mengundang kepak akhir kawanan burung turut menikmati. Kehadiran burung tidak dilihat sebagai musuh, tetapi kerelaan untuk saling berbagi. Perihal ini merasuk JDK untuk berbagi suka-duka dalam bentuk apapun hingga langkah kaki tetap kokoh.

Dengannya segala kegelisahan yang tergambar dalam sajak Hitam vs Putih, Putih vs Hitam, Yin dan Yang, Singa Mengendarai Naga, Gelas Kosong (1), Gelas Kosong (2), Gelas Kosong (3), Mata Elang, dan beberapa puisi lainnya dapat dihalau secara bijak. Memang puisi-puisi tersebut cenderung mitopoik (mitos: anonim yang berakar dalam kebudayaan primitif). JDK menggunakan ketaksadaran masa lampaunya dalam mencipta puisi. Diantaranya, ketaksadaran personal yang diterima dalam kehidupan sekarang (ontogenesisis) dan ketaksadaran impersonal yang diterima melalui nenek moyang (filogenesis).

Kontemplasi imaji memampukan JDK menemui sosok-sosok penopang. Beberapa puisinya memiliki obyek-obyek spesisifik, diantaranya: Bung Malcom; lagi-lagi JDK terbawa nostalgia yang mendatangkan kerinduan akan Lembata yang pernah dicumbuinya. Kini bagai terhempas dari potret dahulu, Lembata menjelmakan kemunafikan, senyum dan tawa yang menjadi air mata, egoisme, bahkan aksi yang merujuk pada perpecah-belahan. Di sana ada sosok yang diharapkan membawa dandanan manis bagi cita persatuan. Sosok yang seharusnya menjadi panutan bagi kaum muda di bumi Lembata. Bagai seruan pertobatan dari segala kecemasan, sosok berjubah pun diusik sukmanya dalam sabda sajak Kepompong Mumi dan Tubuh Tobat. Kaum selibat tidak seharusnya menutup mata bagi tawa dan sinis situasi sosial masyarakat. Sebab pencerahan iman dalam terang Sabda Allah menjadikan manusia untuk bangkit dari lembah kekelaman; dari Saulus (Paulus) kita belajar perihal pertobatan.

Terlepas dari kerinduan, JDK mengemukakan penopang lain yang sangat melekat pada sajak Pengungsi; dikhususkan bagi sang suami Daniel Boli Kotan. Perhatikan penggalan berikut:

Dekat gerbong sambungan
Lelaki tegap kulit gelap
Angkat satu persatu tas
Dari anak wedok
Dari anak lanang
Dari ponakan
Dari istri
Diri sendiri

Bagasi penuh
Tas kerja
Tas sekolah
Tas bekal omprengan
Seolah isi rumah pindah

Mengungsi kok tiap hari?
Demi apa dibelani nganti koyo ngono kuwi...

Ziarah di kekinian lebih terasa pahit manisnya hanya ketika ada dan hadir bersama pendamping hidup. Ada kisah yang lazim terjadi. Situasi mengungsi dari rumah menuju tempat aktifitas masing-masing; adalah langganan dari sebuah ziarah. Peran seorang suami dan ayah ialah tumpuan dan harapan. Sedari hal-hal kecil hingga kepada tanggung jawab yang lebih besar dilalui dalam kebersamaan.

Bagi JDK  ada saat dimana kehidupan dimaknai sebagai ibadah puisi dan setapak menuju kembara jiwa mencari oasenya. Sebagai manusia fana yang mengembara di dunia, pemuas dahaga jiwa adalah umbaran senyum (harapan dan doa). Terkadang ia belajar untuk tersenyum selain kekhasannya. Dalam sajak Seulas Senyum Terindah, ia menemukan segurat senyum Bunda Maria yang menjajikan kebebasan dari segala kegetiran hidup. senyum itu baru mampir / sekilas tertangkap mata / sekilas sungguh / tapi bangunkan kenangan / terbenam dalam sekali / dalam dasar hati / bank persoalan tersimpan rapat / seperti Bunda Maria begitu rapi menata / menyimpan segala penglihatan peristiwa / permasalahan hidup besar atau biasa saja..../.

Masih juga pada senyum, JDK kemudian berusaha untuk memancarkan lagi senyum bersahaja yang diperolehnya dalam pengalaman bathin bersama Maria kepada sosok lain melalui sajaknya Pemilik Senyum. Pada fase ini, ia menyelami senyum dari sosok Transenden kepada sesamanya yang tengah terbeban. di sini pemilik senyum / dengan lembut merangkul / mengusap air mata / bahkan tergugu penuh lelehan air dari mata / menangis sambil menemani / bahu-Nya diserahkan / kasih seluas samudra /.

Di balik senyuman itu, segala tapak perjalanan menemui titik cerah. JDK dalam proses pencarian kembali menemukan dirinya sendiri. Sajak Penyair dan Keretanya, adalah jawab dari segala tanya yang dijumpainya pada setiap perhentian di jalanan. Perhatikan penggalan puisinya:

Berlalu di lintasan merdu
Merdu adu kemereyot
Sambungan tubuh raksasamu
Pada keretalah dia kembali pulang
Masuk ke perut besi yang tak mau sepi
Dilahapnya ribuan kepala di kedalamannya
Erangan segala luka
Dan riak suka segala rupa
Ada di dalamnya
Membius dan membetot penyair kereta
Ia memuntahkan semua arogansi
Amunisi tuk dibuang sedikit demi sedikit

Penyair dan keretanya telah menyatu, lalu ke manakah laju terakhir? Di sana, JDK menghadirkan sajak Stasiun Hati sebagai tempat peraduan segala ziarah imaji dan kelana jiwa. Simponi itu mengalirkan tetesan embun / merayu sendu di alur perasaan mengombak / menyusuri pantai hati menuju biduk perlahan / memburu musim yang pandai menyembunyikan dirinya/.

Tak dapat dipungkiri bahwa JDK menjadikan perjalanannya sebagai pertemuan dan atau perjumpaan. Dalam sudut pandang sosiologis, karya sastra (puisi) tidak terlepas dari realitas sosial. Sapardi Djoko Damono mengetengahkan bahwa sastra tidak jatuh begitu saja dari langit, tetapi ada hubungan antara sastrawan (penyair), karya sastra, dan masyarakat. Oleh sebab itu, berbagai spesifikasi dalam kebanyakan puisinya JDK (selain telah disebutkan) menyiratkan banyak sosok yang dijumpainya. Entah pada dunia riil maupun cumbuan dunia mayanya (facebook). Boleh dikatakan bahwa semua yang disebutkan adalah sosok-sosok penonggak eksistensi sastra JDK. Bersama mereka puisi lahir begitu saja tanpa batasan ruang dan waktu.

Selendang Bidadari Selendang Penyair, menjadikan Nana Ernawati sebagai penyulam yang sesekali menusuk jarum pada tenunan image JDK. Selamat Bahagia Bunda, kepada pelaku monolog Dhenok Kristianti yang memampukan JDK perihal berkata dalam jiwa. Kehidupan Dhenok juga dimaknai sebagai kehidupan si Penyair Kereta. Solilokui, di sana Seno Gumira Ajidarma bagai mentari yang senantiasa menyinari pagi, bintang yang menyinari malam, hingga pada cahaya yang terpancar dari penyair itu sendiri seperti rembulan yang tak redup. Sebab dalam sajak Rembulan Jatuh di Pelataran, penyair seolah menggugat egoisnya rembulan di balik awan; semestinya ia ada dalam pangkuan penyair agar kegelapan tidak menguasai setiap lorong yang hendak dilewati. Adakalanya, jejak terhenti (Mandeg) sehingga hitungan detik menjadi sasaran amukan penyair dalam sajak Jam Berapa Sekarang? dan Jam Segini. Gugatan dilontarkan sebagai pertanda akan liarnya imajinasi tanpa batasan waktu.

Penutup

JDK di dalam puisi – puisinya memiliki kecenderungan naratif dan panjang. Kendati demikian, kadar kepuitisannya tetap terjaga. Puisi – puisi yang diciptakannya didukung oleh unsur dan sarana kepuitisan serta makna yang mendalam. Agar dapat menyelaminya, maka pembaca harus masuk dalam situasi kontemplasi. Penyair dalam bukunya menjanjikan tendensi puitik yang mengarah pada interpretasi masa depan (quasi-eksponen) walau dalam tampilannya ada beberapa puisi yang melekat dengan quasi-epigon (struktur puisi tempo dulu). Namun, ada usaha JDK dengan sebuah terobosan baru yaitu mengkolaborasikan keduanya. Ada juga kekhawatiran akan ekspresifnya yang terkadang membandingkan secara langsung realitas faktual sehingga tuntutan fiktif imajiner terkadang diabaikan.

JDK menyikapi segala situasi dengan membawanya pada suatu permenungan. Permenungan yang tidak sebatas pada duduk, diam, termangu, termenung; tetapi permenungan yang memampukannya untuk melahirkan janin imaji dari rahim nubari hingga terwujudlah apa yang disebut “Karya Sastra (Puisi)”.

Kumpulan puisi dalam buku ini hemat saya dijiwai oleh pengalaman perjalanan (ziarah bathin/ jiwa penyair) dalam memaknai hidupnya terutama dalam upaya memberikan sumbangsih terhadap dunia perpuisian Indonesia. Sehingga dengan mutlak JDK menyematkan Beribu Jejak di Pelataranmu sebagai judul buku antologi puisi ini; dengan eksistesinya sebagai Penyair Kereta. Adalah suatu apresiasi yang patut dilayangkan di pelataran image Penyair Kereta.

Jejakmu telah membekas
ribuan generasi akan lekas
menapak – menjejak jalan emas
di pelataranMu imaji dikemas!
(HET, 2016)


Kupang, 2016
Herman Efriyanto Tanouf

Herman Efriyanto Tanouf. Lahir di Insaka, 25 Februari 1990. Bergiat di Komunitas Sastra Dusun Flobamora dan Pondok Diskusi Secangkir Kopi Kota Kupang. Aktif dalam berbagai kegiatan apresiasi seni dan sastra di NTT. Karya-karya tersebar pada beberapa antologi puisi bersama, di antaranya: Nyanyian Sasando,  Antologi Puisi Suratto Green Literary Award 2015, Perempuan dan Telapak Kaki, Di Bawah Pohon Willow, Antologi Puisi Chairil Anwar: Setelah 67 Tahun di Karet, Membaca Kartini, dan Nusa Puisi . Pemenang Naskah Favorit dalam Lomba Cipta Puisi Nasional 2016. Selain itu, puisi-puisi tersebar pada beberapa media lokal dan nasional. Menulis essay sastra dan artikel lepas. Menulis prolog dan epilog sekaligus kurator pada beberapa buku Sastrawan senior.

[1] Ruth Berry, Freud: Seri Siapa Dia, trans. Frans Kowa, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2001) hal. 104
[2] Abdul Wachid B. S., Proses Kreatif Puisi: “Jalan Spiritual”, “Jalan Bahasa”, Creative Writing, (Purwokerto: Penerbit Stain Press, 2013), hal. 3.
[3] Tanouf, Herman Efriyanto, “Potret Kegelisahan Penyair Kereta; Refleksi atas Puisi “Yin dan Yang” karya Julia Daniel Kotan” dalam floressastra.com (01 Maret 2016); catatan dengan pendekatan ekspresif.
[4] Tumpuan sandaran bisa saja pada sesama (mungkin Ibunda, Suami, anak-anak, sahabat, dan terlebih kepada Tuhan; tak terlupa mereka yang adalah pendoa – jiwa-jiwa yang telah berpulang). Wujudnya berupa untaian doa. Sebab doa adalah segalanya bagi manusia fana yang tengah berziarah di dunia ini.

Comments