Epilog Buku Puisi Penyair Kereta
(Refleksi
atas Kumpulan Puisi Ribuan Jejak di
Pelataranmu, karya Julia Daniel Kotan)
Puisi sebagai proses kreatif imajinasi adalah suatu
manifestasi penulis yang beranjak dari gelora kecemasan atau kegelisahan.
Situasi, dalam hal ini pengalaman yang merasuk emosi dan jiwa (psike) bahkan turut mempengaruhi ide
pengarang terejahwantah dalam karya sastra (puisi) sebagai ziarah imaji. Moment
ini hanya akan terjadi ketika penyair memasuki perjalanan jiwa (batin).
Terkait dengan jalannya jiwa, penyair seolah berada pada situasi sunyi. Freud
menandaskan bahwa penulis sebenarnya membiarkan dirinya sendiri untuk hidup di
dalam dunia khayal mereka, sehingga efektif menyibak prinsip realitas, lalu
menggunakan fantasi mereka secara kreatif[1].
Artinya bahwa proses kreatif ini menyata dalam dunia sunyi; dunia imaji.
Selanjutnya Abdul Wachid B. S menyebut proses kreatif ini dengan jalan
spiritual; di mana penyair hanya bertugas sebagai pelaksana dari suara ruh.
Sementara itu, ruh memerlukan badan, yakni bahasa, dan karenanya suara ruh itu
meminta bahasa agar dapat meruang dan mewaktu[2].
Suara ruh inilah yang kemudian meminimalisir kegelisahan setelah penyair
melahirkan puisi.
Demikian ketika membaca buku kumpulan puisi Ribuan Jejak di Pelataranmu karya Julia
Daniel Kotan (JDK) yang dalam dunia kepenyairan lebih dikenal dengan julukan
“Penyair Kereta”, saya cenderung untuk melihat sisi kreatifnya dalam melahirkan
puisi – puisi bernas. Lebih jauh dari itu, motif ini timbul dari latar belakang
kehidupan penyair yang menciptakan dunia sunyinya di tengah kebisingan. Agar
tidak terjerat pada subjektivitas, maka dalam upaya menemukan proses kreatif
Penyair Kereta, saya menyelaminya dalam menu puisi yang dihidangkan pada jiwa
buku ini.
Sarana
Kepuitisan dalam Ribuan Jejak di
Pelataranmu
Kajian terhadap puisi tidak terlepas dari struktur,
unsur, dan sarana kepuitisan. Kepuitisan dapat dicapai melalui beberapa cara,
diantaranya: tipografi dan susunan bait; persajakan, asonansi, aliterasi,
kiasan bunyi, lambang rasa, dan orkestrasi; dengan pilihan diksi, bahasa
kiasan, sarana retorika, dan sebagainya (Hasannudin, 2002). Aspek kepuitisan
sangat menentukan dan memberi gambaran tentang sejauh mana penyair mempunyai
daya cipta yang orisinal, serta memberi pengertian kepada pembaca (Pradopo
1978:35). Karya sastra (puisi) bermediakan bahasa. Bahasa itu sendiri ketika
belum menjadi sajak, telah mengandung makna tertentu (sistem semiotik tingkat
pertama). selanjutnya ketika menjadi sajak, bahasa ditingkatkan sistemnya menjadi
makna (significance) sebagai semiotik
tingkat kedua (Pradopo, KR, 17 Januari 1988). Terkait dengan konsep ini, Sangu adalah salah satu puisi JDK yang
hemat saya mampu menjawabi tuntutan tersebut. Berikut penggalan puisi Sangu:
Persis aku mencarimu persis kau mencariku
Aku dan kamu cari mencari
Itulah hidup nang donya
Itulah hidup nang donya
Ini penting
Walau pontang panting dengan kain rok dicincing
Kain celana ujung dilinting banjir sandal sepatu dijinjing
Tas nyelempang ke samping udut rokok mung sak linting
Ketemu orang penting yang beri anting - anting
Sebagai saweran samping sebelum semua diontang -anting
Akhirnya ambrol berkeping nek sembrono le nanting
Sebagai saweran samping sebelum semua diontang -anting
Akhirnya ambrol berkeping nek sembrono le nanting
Bergegaslah
Rejeki lari ketiwasan bangun kerinan rejeki sepi keduluan sawan
Rejeki madep mantep datengnya kalau ngawaki semangat dari mulanya
Kabehane tergantung karo niat lan kaberkahane sing memberi urip
Berburu dengan kereta ke Ibukota
Ketika membaca puisi Sangu,
pembaca akan mengalami getaran-getaran perasaan dan memungkinkan adanya senyum
bahkan tawa kecil. Bukan guyonan atau lelucon, tetapi gertak keindahan yang
menggema dalam gaya bahasa, serasinya pilihan diksi, pengulangan bunyi,
asonansi, dan beberpa unsur pembentuk lainnya. JDK membuka puisi Sangu dengan situasi hiruk-pikuk yang dicumbui oleh setiap
penumpang kereta (keterwakilan). Selanjutnya pada bait ketiga kegaduhan begitu
meraja. Perhatikan pilihan diksi dengan akhiran “ing” atau berima akhir “ng”
yang menghasilkan suara gemirincing
pintalan rel kereta dan riuh-risih
penumpang. Selain itu, bunyi konsonan mengisyaratkan kepengapan yang tidak
dapat dihindari. Kemudian pada bait ke-4 yang kebetulan satu baris, adalah
isyarat bahwa rejeki tidak akan menunggu. Kepada rejekilah kita seharusnya
berlari dan mendapatkannya, tanpa peduli pada bentangan perjalanan yang mungkin
tiada berhujung. Meskipun demikian, pembaca pada umumnya akan dipaksa untuk
mengerti secara baik beberapa diksi yang sangat kental dengan bahasa Jawa. JDK
memadukan culture bahasa yang
sepadan. Saya teringat akan konsep Roman Jakobson (Filsuf kalahiran Moskow,
1896-1982) yang mendefenisikan fungsi puitik sebagai seperangkat (eintellung)
yang mengarah kepada pesan secara terpusat pada pesan itu sendiri, sehingga
menjadi fungsi puitik bahasa.
Sangu sendiri sebagai rejeki (bisa berupa bekal)
sesungguhnya merupakan salah satu motif utama dalam ekspresi jiwa (ziarah) dari
penyair. Dalam konotasinya, bekal yang ingin diperoleh melingkupi kebutuhan
jasmani sekaligus aspek rohaniah (tuntutan jiwa) sebagai buah dari suatu
perjalanan panjang.
Selain puisi tersebut, puluhan puisi lainnya dalam buku
ini menyiratkan sekian banyak dinamika yang ditawarkan. Dinamika pada batasan
ini adalah sebuah proses untuk mentransformasikan esensi makna yang ingin
dikomunikasikan melalui unsur-unsur pembentuk puisi. Sehingga dengannya penyair
dapat menemukan sarana komunikasi yang tepat (fase ontologis), lalu dengan sederhana berusaha untuk
mengkomuikasikannya kepada setiap penikmat (fase
epistemologis) dan akhirnya dapat dijawab pertanyaan (kegelisahan dan
kecemasan) tentang alasan mendasar mengapa puisi-puisi itu dilahirkan (fase aksiologis).
JDK dalam perjalanan melewati ketiga fase tersebut
terkadang membuatnya lelah bahkan “pincang”. Sebagian tapak-tapak kecil
terlewati atau terlupakan. Aliran puitik yang mencuat begitu derasnya,
menjadikan penyair nyaris lupa mendandani puisi-puisinya dengan sarana yang
tepat. Beberapa puisinya tentu saja membuat pembaca berkerut kening. Semisal
dalam puisi Tanya?, terdapat tanda
(tanya) yang kental akan tipografinya; sesekali bisa saja menimbulkan
pertanyaan akan maksud di balik Tanya?
ini. Sebab esensi sebuah puisi dalam hubungannya dengan imajinasi seharusnya
diperhatikan decorative image, intense
image (Wells, 1961), agar tidak
terjadi vacum image. Perhatikan
puisinya:
Tanya?
Kelopak mawar pun rela meluruhkan diri
Saat pesona lain yang lebih alami dan tak berduri
Mengambil apa yang menjadi milik diri
Mengunjungi dengan cara sembunyi
Dan terbata di sini
Mengeja
Tanya
????
???
??
?
Saat pesona lain yang lebih alami dan tak berduri
Mengambil apa yang menjadi milik diri
Mengunjungi dengan cara sembunyi
Dan terbata di sini
Mengeja
Tanya
????
???
??
?
Kendati demikian, tanda (semiotika)
yang dihadirkan merujuk pada kelelahan setelah melewati perjalanan panjang. Ada
saat di mana kata itu tiada; hanya tanda sebagai bahasa isyarat. Ada saat di mana
imajinasi terkungkung dan hanya mampu dalam sederet tanda (?). Ada saat di mana
perjalanan tanpa pertemuan, hanyalah penyair seorang diri. Pada fase ini JDK
mengajak pembaca untuk sejenak berpikir dalam tanda sebagaimana yang
dikemukakan oleh Pierce (filsuf Amerika, 1839) dengan semiotikanya dan Saussure
(filsuf Jenewa, 1857) dengan dasar linguistik modernnya (semiologi).
Puisi
dan Perjalanan Batin: sebuah Interpretasi
Dalam sebuah ulasan pada website floressastra.com dengan
judul artikel: Potret Kegelisahan Penyair
Kereta: Refleksi atas Puisi “Yin dan Yang”[3],
sedikitnya dibeberkan usaha kreatif
Penyair Kereta dalam melahirkan puisi. Di sana, kegelisahan yang dialami
sebagai suatu bentuk ekspresi kejiwaan ketika menghadapi situasi dilematis.
Kegelisahan yang lahir sebagai akibat dari sandingan Yin dan Yang; pertautan
antara gelap dan terang; serasi antara tawa dan air mata. Lalu, datanglah
kepada kreatifitas Penyair Kereta itu sendiri. Lebih jauh dari itu, JDK dalam
dilematisnya (gelisah) mengandaikan tengah menapaki sebuah persimpangan. Perlu
diketahui bahwa persimpangan identik dengan sebuah perjalanan.
Pengalaman perjalanan adalah separuh nafas yang menjiwai
puluhan puisi dalam buku ini. JDK dalam rahim imajinya melahirkan janin puisi
yang secara mutlak mencerminkan hidup dan kehidupannya. Konsep perjalanan
dimaksud lebih kepada ziarah imajinasi yang ia kais dari rahim kereta dan
segala bentuk perjumpaan dengan individu dalam potret realitas dan perintah
alam bawah sadar. Perjalanan JDK menyata dalam buah sulungnya ini. Demikian
puisi sebagai sebuah perjalanan menghendakinya untuk mengawali langkah dengan
tapak pertama; puisi dengan judul Jejak –
Jejak di Pelataranmu. Jejak-jejak di sini menyiratkan ribuan jejak yang
dapat ditelusuri pada puisi-puisi selanjutnya.
Perjalanan menghadirkan perjumpaan. Dalam ziarah imaji
JDK bersua dengan sosok berahim; ialah kereta yang tidak sebatas pada alat
transportasi sebagai pelancar perjalanan, tetapi lebih kepada kereta yang
adalah puisi. Gambaran ini jelas dalam Sajak
Kereta (1). Berikut beberapa penggalan baitnya.
Sajak kereta ini tak akan berhenti menyambutmu
Perasaan harap cemas
Bahagia suka itu geliat hati
Bahagia suka itu geliat hati
Saat bertemu denganmu
Hari ini kau dapat senyumku
Kau tepat menjemputku
Tadi pagi kau kusumpah dengan serapahku
Jam efektif pagiku kau cemari
Kau tepat menjemputku
Tadi pagi kau kusumpah dengan serapahku
Jam efektif pagiku kau cemari
Gangguan alasan persinyalanmu
Walau selamatlah kedatanganku
Walau selamatlah kedatanganku
Bait pertama dan kedua dalam sajak tersebut melukiskan
perjumpaan yang mengobati kegelisahan penyair akan hari kemarin ketika
mencumbui ketelatan akan keseharian. Perhatikan kegirangan penyair yang
menyambut kedatangan jalaran perut kereta dengan geliat hati dan umbaran
senyum. Tidak sebatas isyarat, pada bait ke-9 luapan bahagia itu muncul dalam
sebaris naratif: “Terima kasih kawan,
tanpamu apalah jadinya kami...”. Ekspresi perasaan tersebut pada tahapan
tertentu membuahkan cinta yang universal. Oleh karenanya, dalam sajak Dunia Pewayangan Cinta, JDK secara
kental mengungkapkan kekuatan cinta yang memampukan ia begitu kokoh menjejaki
pelataran hidup. Meneropong beberapa penggalan bait berikut:
Mengukir keindahan di wajah langit
Mengirim keagungan cinta pada yang kita harapkan
Kita lukiskan dengan sekuat tenaga cinta
Serupa siapa kita khayalkan
Semirip siapa menari-menari dalam dunia pewayangan cinta
Mengirim keagungan cinta pada yang kita harapkan
Kita lukiskan dengan sekuat tenaga cinta
Serupa siapa kita khayalkan
Semirip siapa menari-menari dalam dunia pewayangan cinta
Seusia rasa menggelora
Tak cukuplah menahanmu tuk selalu mengeram
Bertahan di tahta taman hati begitu rapuh teperdaya
Melambai pesona bayang melingkupi
buana
Berbagai pelabuhan disinggahi kapal-kapal dengan saudagarnya
Membawakan rupa-rupa perhiasan dan tawaran
Berbagai pelabuhan disinggahi kapal-kapal dengan saudagarnya
Membawakan rupa-rupa perhiasan dan tawaran
Menyelinap membagikan madu
Tawar, asin, dan beradu di pelataran terhampar
Singgah dan melaju
Sebentar lalu lama tak berbekas
Mengantar lagu rindu
Meninggalkan jejak tak ingin bersatu
Terlepas dari cinta kepada seorang kekasih (suami) atau
anak-anak, penyair pada tahap ini menginginkan laju kehidupan yang dilandasi
oleh keagungan cinta. Langit pada dasarnya terarah pada sesuatu yang tidak
dapat dijangkau. Begitupun dengan cinta yang diharapkan adalah cinta yang tak
terjangkau takarannya. JDK dalam
potretnya mengandalkan kekuatan cinta sebagai pedoman dalam mengayuh lajunya
sebuah perjalanan. Agar cinta tidak diklaim sebagai perasaan semata, penyair
berusaha menghadirkan pilihan diksi dan kata-kata konkret yang melandasi sebuah
ziarah seperti: “pelabuhan”, “kapal-kapal” dan “saudagar”. Citraan power of love dalam bait ke-1 adalah gerbang masuk bagi bait ke-2 terhadap
perjalanan itu sendiri. Gelora cinta itu seperti madu, tapi ketahuilah bahwa
cinta tak selamanya serasa madu dan susu, ada saat di mana cinta begitu tawar
dan asin. Sebagaimana jalan-jalan penuh tantangan dan rintangan (fase putus
asa); jalanan tidak begitu mulus pada pelataran yang diimpikan. Keputusasaan
membawa penyair untuk berjalan dan mencari sandaran yang kuat, sehingga
dengannya ia tidak tersendat langkah[4].
Sandaran dalam citraan penyair dapat ditemukan dalam
sajak Doa Ibuku dan Sang Burung (1), Doa
Ibuku dan Sang Burung (2). Adalah suatu refleksi untuk kembali kepada masa
lalu tentang bagaimana upaya seorang Ibu yang adalah petani. Ibu adalah
segalanya bagi seorang anak. JDK menyadari bahwa amanah yang dititahkan sang
ibu dalam keseharian adalah sebait doa yang senantiasa melingkari ziarah sang
anak dengan radius tak terhingga. Doa ibu yang disandingkan dengan sang burung
melukiskan sosok petani (sawah). Latar persawahan dengan padi yang merunduk dan
menguning serentak mengundang kepak akhir kawanan burung turut menikmati.
Kehadiran burung tidak dilihat sebagai musuh, tetapi kerelaan untuk saling
berbagi. Perihal ini merasuk JDK untuk berbagi suka-duka dalam bentuk apapun
hingga langkah kaki tetap kokoh.
Dengannya segala kegelisahan yang tergambar dalam sajak Hitam vs Putih, Putih vs Hitam, Yin dan
Yang, Singa Mengendarai Naga, Gelas Kosong (1), Gelas Kosong (2), Gelas Kosong
(3), Mata Elang, dan beberapa
puisi lainnya dapat dihalau secara bijak. Memang puisi-puisi tersebut cenderung
mitopoik (mitos: anonim yang berakar
dalam kebudayaan primitif). JDK menggunakan ketaksadaran masa lampaunya dalam
mencipta puisi. Diantaranya, ketaksadaran personal yang diterima dalam
kehidupan sekarang (ontogenesisis)
dan ketaksadaran impersonal yang diterima melalui nenek moyang (filogenesis).
Kontemplasi imaji memampukan JDK menemui sosok-sosok
penopang. Beberapa puisinya memiliki obyek-obyek spesisifik, diantaranya: Bung Malcom; lagi-lagi JDK terbawa
nostalgia yang mendatangkan kerinduan akan Lembata yang pernah dicumbuinya.
Kini bagai terhempas dari potret dahulu, Lembata menjelmakan kemunafikan,
senyum dan tawa yang menjadi air mata, egoisme, bahkan aksi yang merujuk pada
perpecah-belahan. Di sana ada sosok yang diharapkan membawa dandanan manis bagi
cita persatuan. Sosok yang seharusnya menjadi panutan bagi kaum muda di bumi
Lembata. Bagai seruan pertobatan dari segala kecemasan, sosok berjubah pun
diusik sukmanya dalam sabda sajak Kepompong
Mumi dan Tubuh Tobat. Kaum
selibat tidak seharusnya menutup mata bagi tawa dan sinis situasi sosial
masyarakat. Sebab pencerahan iman dalam terang Sabda Allah menjadikan manusia
untuk bangkit dari lembah kekelaman; dari Saulus (Paulus) kita belajar perihal
pertobatan.
Terlepas dari kerinduan, JDK mengemukakan penopang lain
yang sangat melekat pada sajak Pengungsi;
dikhususkan bagi sang suami Daniel Boli Kotan. Perhatikan penggalan
berikut:
Dekat gerbong sambungan
Lelaki tegap kulit gelap
Angkat satu persatu tas
Dari anak wedok
Dari anak lanang
Dari ponakan
Dari istri
Diri sendiri
Lelaki tegap kulit gelap
Angkat satu persatu tas
Dari anak wedok
Dari anak lanang
Dari ponakan
Dari istri
Diri sendiri
Bagasi penuh
Tas kerja
Tas sekolah
Tas bekal omprengan
Seolah isi rumah pindah
Tas sekolah
Tas bekal omprengan
Seolah isi rumah pindah
Mengungsi kok tiap hari?
Demi apa dibelani nganti koyo ngono
kuwi...
Ziarah di kekinian lebih terasa pahit manisnya hanya
ketika ada dan hadir bersama pendamping hidup. Ada kisah yang lazim terjadi.
Situasi mengungsi dari rumah menuju tempat aktifitas masing-masing; adalah
langganan dari sebuah ziarah. Peran seorang suami dan ayah ialah tumpuan dan
harapan. Sedari hal-hal kecil hingga kepada tanggung jawab yang lebih besar
dilalui dalam kebersamaan.
Bagi JDK ada saat
dimana kehidupan dimaknai sebagai ibadah puisi dan setapak menuju kembara jiwa
mencari oasenya. Sebagai manusia fana yang mengembara di dunia, pemuas dahaga
jiwa adalah umbaran senyum (harapan dan doa). Terkadang ia belajar untuk
tersenyum selain kekhasannya. Dalam sajak Seulas
Senyum Terindah, ia menemukan segurat senyum Bunda Maria yang menjajikan
kebebasan dari segala kegetiran hidup. senyum itu baru mampir / sekilas
tertangkap mata / sekilas
sungguh / tapi
bangunkan kenangan / terbenam
dalam sekali / dalam
dasar hati / bank
persoalan tersimpan rapat / seperti
Bunda Maria begitu rapi menata / menyimpan
segala penglihatan peristiwa / permasalahan
hidup besar atau biasa saja..../.
Masih juga pada senyum, JDK kemudian berusaha untuk
memancarkan lagi senyum bersahaja yang diperolehnya dalam pengalaman bathin
bersama Maria kepada sosok lain melalui sajaknya Pemilik Senyum. Pada fase ini, ia menyelami senyum dari sosok
Transenden kepada sesamanya yang tengah terbeban. di sini pemilik senyum / dengan lembut merangkul / mengusap air mata / bahkan tergugu penuh lelehan air
dari mata /
menangis sambil menemani /
bahu-Nya diserahkan /
kasih seluas samudra /.
Di balik senyuman itu, segala tapak perjalanan menemui
titik cerah. JDK dalam proses pencarian kembali menemukan dirinya sendiri.
Sajak Penyair dan Keretanya, adalah
jawab dari segala tanya yang dijumpainya pada setiap perhentian di jalanan.
Perhatikan penggalan puisinya:
Berlalu di lintasan merdu
Merdu adu kemereyot
Sambungan tubuh raksasamu
Merdu adu kemereyot
Sambungan tubuh raksasamu
Pada keretalah dia kembali pulang
Masuk ke perut besi yang tak mau sepi
Dilahapnya ribuan kepala di kedalamannya
Erangan segala luka
Dan riak suka segala rupa
Ada di dalamnya
Membius dan membetot penyair kereta
Ia memuntahkan semua arogansi
Masuk ke perut besi yang tak mau sepi
Dilahapnya ribuan kepala di kedalamannya
Erangan segala luka
Dan riak suka segala rupa
Ada di dalamnya
Membius dan membetot penyair kereta
Ia memuntahkan semua arogansi
Amunisi tuk dibuang sedikit demi
sedikit
Penyair dan keretanya telah menyatu, lalu ke manakah laju
terakhir? Di sana, JDK menghadirkan sajak Stasiun
Hati sebagai tempat peraduan segala ziarah imaji dan kelana jiwa. Simponi itu mengalirkan tetesan embun / merayu sendu di alur perasaan
mengombak / menyusuri
pantai hati menuju biduk perlahan / memburu
musim yang pandai menyembunyikan dirinya/.
Tak dapat dipungkiri bahwa JDK menjadikan perjalanannya
sebagai pertemuan dan atau perjumpaan. Dalam sudut pandang sosiologis, karya
sastra (puisi) tidak terlepas dari realitas sosial. Sapardi Djoko Damono
mengetengahkan bahwa sastra tidak jatuh begitu saja dari langit, tetapi ada
hubungan antara sastrawan (penyair), karya sastra, dan masyarakat. Oleh sebab
itu, berbagai spesifikasi dalam kebanyakan puisinya JDK (selain telah
disebutkan) menyiratkan banyak sosok yang dijumpainya. Entah pada dunia riil
maupun cumbuan dunia mayanya (facebook).
Boleh dikatakan bahwa semua yang disebutkan adalah sosok-sosok penonggak
eksistensi sastra JDK. Bersama mereka puisi lahir begitu saja tanpa batasan
ruang dan waktu.
Selendang Bidadari Selendang Penyair, menjadikan Nana Ernawati sebagai penyulam yang sesekali
menusuk jarum pada tenunan image JDK.
Selamat Bahagia Bunda, kepada pelaku
monolog Dhenok Kristianti yang memampukan JDK perihal berkata dalam jiwa.
Kehidupan Dhenok juga dimaknai sebagai kehidupan si Penyair Kereta. Solilokui, di sana Seno Gumira Ajidarma
bagai mentari yang senantiasa menyinari pagi, bintang yang menyinari malam,
hingga pada cahaya yang terpancar dari penyair itu sendiri seperti rembulan
yang tak redup. Sebab dalam sajak Rembulan
Jatuh di Pelataran, penyair seolah menggugat egoisnya rembulan di balik
awan; semestinya ia ada dalam pangkuan penyair agar kegelapan tidak menguasai
setiap lorong yang hendak dilewati. Adakalanya, jejak terhenti (Mandeg) sehingga hitungan detik menjadi
sasaran amukan penyair dalam sajak Jam
Berapa Sekarang? dan Jam Segini.
Gugatan dilontarkan sebagai pertanda akan liarnya imajinasi tanpa batasan
waktu.
Penutup
JDK di dalam puisi – puisinya memiliki kecenderungan
naratif dan panjang. Kendati demikian, kadar kepuitisannya tetap terjaga. Puisi
– puisi yang diciptakannya didukung oleh unsur dan sarana kepuitisan serta
makna yang mendalam. Agar dapat menyelaminya, maka pembaca harus masuk dalam
situasi kontemplasi. Penyair dalam bukunya menjanjikan tendensi puitik yang
mengarah pada interpretasi masa depan (quasi-eksponen) walau dalam tampilannya
ada beberapa puisi yang melekat dengan quasi-epigon (struktur puisi tempo
dulu). Namun, ada usaha JDK dengan sebuah terobosan baru yaitu
mengkolaborasikan keduanya. Ada juga kekhawatiran akan ekspresifnya yang
terkadang membandingkan secara langsung realitas faktual sehingga tuntutan fiktif imajiner terkadang diabaikan.
JDK menyikapi segala situasi dengan membawanya pada suatu
permenungan. Permenungan yang tidak sebatas pada duduk, diam, termangu,
termenung; tetapi permenungan yang memampukannya untuk melahirkan janin imaji
dari rahim nubari hingga terwujudlah apa yang disebut “Karya Sastra (Puisi)”.
Kumpulan puisi dalam buku ini hemat saya dijiwai oleh
pengalaman perjalanan (ziarah bathin/ jiwa penyair) dalam memaknai hidupnya
terutama dalam upaya memberikan sumbangsih terhadap dunia perpuisian Indonesia.
Sehingga dengan mutlak JDK menyematkan Beribu
Jejak di Pelataranmu sebagai judul buku antologi puisi ini; dengan
eksistesinya sebagai Penyair Kereta. Adalah suatu apresiasi yang patut
dilayangkan di pelataran image
Penyair Kereta.
Jejakmu telah membekas
ribuan generasi akan lekas
menapak – menjejak jalan
emas
di pelataranMu imaji
dikemas!
(HET, 2016)
Kupang,
2016
Herman Efriyanto Tanouf
Herman Efriyanto Tanouf. Lahir di Insaka,
25 Februari 1990. Bergiat di Komunitas Sastra Dusun Flobamora dan Pondok
Diskusi Secangkir Kopi Kota Kupang. Aktif dalam berbagai kegiatan apresiasi
seni dan sastra di NTT. Karya-karya tersebar pada beberapa antologi puisi
bersama, di antaranya: Nyanyian Sasando,
Antologi
Puisi Suratto Green Literary Award 2015, Perempuan dan Telapak Kaki,
Di Bawah Pohon Willow, Antologi Puisi Chairil Anwar: Setelah 67
Tahun di Karet, Membaca Kartini,
dan Nusa Puisi . Pemenang Naskah
Favorit dalam Lomba Cipta Puisi Nasional 2016. Selain itu, puisi-puisi tersebar
pada beberapa media lokal dan nasional. Menulis essay sastra dan artikel lepas.
Menulis prolog dan epilog sekaligus kurator pada beberapa buku Sastrawan
senior.
[1] Ruth Berry,
Freud: Seri Siapa Dia, trans. Frans
Kowa, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2001) hal. 104
[2] Abdul Wachid
B. S., Proses Kreatif Puisi: “Jalan
Spiritual”, “Jalan Bahasa”, Creative Writing, (Purwokerto: Penerbit Stain
Press, 2013), hal. 3.
[3] Tanouf, Herman
Efriyanto, “Potret Kegelisahan Penyair
Kereta; Refleksi atas Puisi “Yin dan Yang” karya Julia Daniel Kotan” dalam
floressastra.com (01 Maret 2016); catatan dengan pendekatan ekspresif.
[4] Tumpuan sandaran bisa saja pada sesama (mungkin Ibunda,
Suami, anak-anak, sahabat, dan terlebih kepada Tuhan; tak terlupa mereka yang
adalah pendoa – jiwa-jiwa yang telah berpulang). Wujudnya berupa untaian doa.
Sebab doa adalah segalanya bagi manusia fana yang tengah berziarah di dunia
ini.
Comments