Suara dan Celah Perjuangan Menuju Feminisme




Foto: from Google
Refleksi Atas Puisi “Orang Tiada” Karya Dhenok Kristianti

Membaca puisi “Orang Tiada” karya Dhenok Kristianti (Penyair kelahiran Yogyakarta, 25 Januari 1961), saya seolah “diminta” untuk memposisikan diri sebagai perempuan; terlepas dari penyairnya yang adalah seorang perempuan. Dalam posisi ini, saya menggunakan istilah reading as a women  (membaca sebagai perempuan) yang dicetuskan oleh Culler. Dalam artian bahwa, membaca dengan kesadaran membongkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki yang patriarkhat (Sugishastuti dan Suharto, 2005: 19). Konsep lainnya, reading as a women menghendaki pembaca (peneliti) dalam memahami karya sastra harus menggunakan kesadaran khusus, yaitu kesadaran bahwa jenis kelamin banyak berhubungan dengan masalah keyakinan, ideologi, dan wawasan hidup (Suwardi Endaswara, 2008: 147). Asumsi ini berkaitan erat dengan kritik sastra feminisme. Sebelum menelaah lebih jauh tentang “Orang Tiada”, saya memaparkan beberapa konsep kritik sastra feminisme yang mendasari ulasan ini.

Sholwalter (dalam Sugihastuti dan Suharto, 2005: 18) menandaskan bahwa dalam ilmu sastra, feminisme ini berkaitan dengan konsep kritik sastra feminis, yaitu studi sastra yang mengarahkan fokus analisanya pada perempuan. Jika selama ini kebanyakan orang beranggapan bahwa yang memiliki pembaca dan pencipta dalam sastra Barat ialah laki-laki. Di sini, kritik sastra feminis menunjukkan bahwa perempuan membawa persepsi dan harapan ke dalam pengalaman sastranya. Konsep ini didasarkan pada sastra Barat dikarenakan kritik feminisme berawal dan berkembang di sana. Naomi Wolf, seorang feminis dari Amerika, sebagai era baru bagi perempuan, atau ia menyebutnya era geger gender, era kebangkitaan perempuan. Gema kebangkitan itu memang terus berkembang hingga saat ini. Di berbagai belahan dunia, perempuan mulai bangkit mempertanyakan dan menggugat dominasi dan ketidakadilan yang terjadi dalam sistem patriarkhi. Perempuan selama ini memang telah mengalami subordinasi, represi, dan marjinalisasi di dalam sistem tersebut di berbagai bidang termasuk bidang sastra.

Kritik sastra feminis secara teknis menerapkan berbagai pendekatan yang ada dalam kritik sastra, namun ia melakukan reinterpretasi global terhadap suatu pendekatan itu. Kritik yang mula-mula berkembang di Prancis, Amerika, dan Australia ini merupakan sebuah pendirian yang revolusioner yang memasukkan pandangan dan kesadaran feminisme (Pandangan yang mempertanyakan dan menggugat ketidakadilan yang (terutama) dialami perempuan yang diakibatkan sistem patriarkhi) di dalam kajian-kajian kesusastraan.

Sebagaimana feminisme, kritik sastra feminisme juga memiliki aliran-aliran tertentu. Dalam ulasan ini, saya membatasi konsep pada kritik sastra feminis ideologis yang memusatkan perhatian pada cara menafsirkan teks yang melibatkan pembaca perempuan. Yang dikaji adalah citra/ stereotip perempuan dan meneliti kesalahpahaman mengenai perempuan.

Berdasarkan beberapa konsep di atas, saya berusaha untuk membuat catatan berupa refleksi atas puisi “Orang Tiada” karya Dhenok Kristianti. Berikut puisinya:

Orang Tiada
(Kepada yang merasa ada)


Orang tiada menyapa sesiapa tiada berbalas apa
Orang tiada siapa menyapa selain sepi
Orang tiada dibiarkan lenyap bayang pun tiada
Orang tiada siapa peduli?

Orang tiada tiada di benak sesiapa
Orang tiada tiada harga bagi sesiapa
Orang tiada biarkan saja tiada
Orang tiada tiada rugi seandainya tiada juga

Orang tiada tiada layak ada bersama
Orang tiada tiada layak punya suara
Orang tiada tiada layak ada di jamuan pesta
Orang tiada tiada layak menjadi ada
....
Orang tiada siapakah sesungguhnya?
Orang tiada ialah yang tiada hati bagi orang tiada
Orang tiada ialah yang tiada faedah bagi orang tiada
Sebab tiada cinta kita pun sejatinya tiada!


 2012, Dhenok Kristianti

Jika ditinjau dari sisi pragmatik, maka aura atau efek estetis, didaktif, terkait di dalamnya juga kepekaan bathin atau sosial sangat melekat dalam puisi “Orang Tiada”. Adapun obyek dari puisi ini, sebagaimana tersurat di dalamnya yaitu “kepada yang merasa ada”. Dhenok Kristianti dalam ambiguitasnya (judul puisi) tidak ingin agar pembaca “terasuk” oleh rasa penasaran. Ia dengan datar seolah membuka jalan dan pintu masuk bagi imaji pembaca; yang tentunya tidak untuk tersesat.

Secara keseluruhan intention puisi “Orang Tiada” membahasakan perilaku manusia (masyarakat) yang telah lupa akan kebiasaan atau adat “ketimuran”. Orang Indonesia pada umumnya dalam pergaulan atau relasi sehari-haridikenal sikap sopan santunnya (etika pergaulan). Semisal; bertegur sapa, saling menghormati dan menghargai (tanpa membedakan status, golongan, ras, dan berbagai latar belakang yang berbeda). Singkatnya bahwa sikap, tindakan, tutur kata, dan mindset  yang mencerminkan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”.

Pada bait pertama baris ke-1, Orang tiada menyapa sesiapa tiada berbalas apa;penyair secara jelas mengungkapkan realitas yang benar-benar terjadi. Kebiasaan; sebagaimana telah dipaparkan di atas mulai diabaikan. Selanjutnya pada baris ke-2, Orang tiada siapa menyapa selain sepi. Seringkali respon atas situasi (sebuah pertemuan) berupa sapaan yang dilontarkan Penyair Dhenok Kristianti (tidak menutup kemungkinan untuk pembaca) kepada orang lain (sesama) menuai kehampaan (kesia-siaan) atau lebih tepatnya “sepi”.

Interpretasi Feminisme dalam Puisi “Orang Tiada”

Puisi “Orang Tiada (kepada yang merasa ada)” dalam tampilannya tidak menyinggung sedikit pun perbedaan yang menonjolkan maskulinitas dan feminitas. Sehingga dengannya  pembaca tidak  “serta merta” menghadirkan interpretasi bahwa puisi tersebut mengekspresikan feminisme. Terlepas dari “sense” dan “intention”-nya, puisi ini “meminta” pembaca untuk masuk dalam situasi kontemplasi. Sebab hanya dengan itu, dapat dikuak ekspresi dari citraan Dhenok Kristianti. Mungkin Dhenok Kristianti dalam ekspresi puisinya ini sekonsep dengan Dorothea R. Herliany; “dalam mencipta puisi saya bebas dari tempurung gender. Saya tidak sedang menjadi perempuan atau laki-laki. Tidak pernah ingin peduli identitas seksual.” (Suara Pembaruan, 11/11/2001). Namun, ketika puisi ini menjadi “miliknya” pembaca, maka interpretasi tertentu bisa saja muncul.

Oleh sebab itu, lagi-lagi ketika membaca puisi ini saya memposisikan diri dalam konsep “reading as a woman”. Landasannya bahwa “Orang Tiada” dalam konsep saya adalah suara dari kaum perempuan yang sedang “meneriaki” dominasi kaum laki-laki dalam segala aspek kehidupan. Kaum laki-laki dalam citraan Dhenok Kristianti adalah “kepada yang merasa ada”. Nah, agar tampak bahwa penyair dalam puisinya menyuarakan “ketiadaan” kaum feminim, maka saya berusaha untuk menguaknya dalam ulasan berikut.

Pada bait pertama, penyair membuka puisinya dengan mempersoalkan “kesia-siaan” yang senantiasa dihadapi kaum perempuan. Orang tiada menyapa sesiapa tiada berbalas apa / Orang tiada siapa menyapa selain sepi / Orang tiada dibiarkan lenyap bayang pun tiada / Orang tiada siapa peduli?/  Dalam bait ini, penyair seolah membahasakan bahwa intergritas kaum perempuan yang disuarakan tidak mendapat tempat “berlabuh”. Ketika perempuan ingin angkat bicara soal posisinya di atas pentas kehidupan; diabaikan, dianggap tiada, tidak dipedulikan.

Pada bait ke-2, Orang tiada tiada di benak sesiapa / Orang tiada tiada harga bagi sesiapa / Orang tiada biarkan saja tiada / Orang tiada tiada rugi seandainya tiada juga /. Dhenok pada bait kedua menampilakn “ketakberdayaan”kaum perempuan. Ketakberdayaan dimaksud bukanlah situasi “pasrah” tetapi lebih kepada “protes” yang ekstrim bahwa perempuan jika “tiada” maka yang namanya laki-laki tidak akan pernah ada. Ingatlah bahwa laki-laki terlahir dari rahim seorang perempuan; ialah ibuku, ibumu, ibunya, ibu kita. Hal ini melekat pada asonansi yang ditawarkan dengan vokal “a” yang adalah desahan merdu dan halus. Demikian perempuan identik dengan “kehalusan”. Sayangnya, kehalusan tersebut dikasari oleh sosok yang merasa ada.

Bait ke-3, Orang tiada tiada layak ada bersama / Orang tiada tiada layak punya suara / Orang tiada tiada layak ada di jamuan pesta / Orang tiada tiada layak menjadi ada /. Pada bait ini, Dhenok lebih fokus akan “ketakberadaan” seorang perempuan dalam segala situasi. Simaklah pada setiap baris. Baris ke-1 menyiratkan posisi perempuan yang terabaikan dari situasi-situasi publik. Hal ini dapat ditemukan pada pilihan kata “bersama” yang digunakan penyair. Selanjutnya, pada baris ke-2 “tiada layak punya suara”, baris ke-3 “tiada layak ada di jamuan pesta” sesungguhnya tertuju pada sejarah buram posisi perempuan. Semisal, perempuan dibatasi hak suaranya dalam dunia politik; yang hingga sekarang masih tampak. Kenyataannya bahwa posisi perempuan di parlemen hanya pada kapasitas 30% (mengapa tidak fifty-fifty?). Saya secara mutlak kaitkan interpretasi ini dalam kancah politik, dikarenakan pada baris ke-3 ada pernyataan yang menguatkan asumsi ini. Sebab “jamuan pesta”dalam konotasinya di sini mengandaikan pesta demokrasi. Pengulangan “tiada layak” pada setiap baris membahasakan “keterasingan” yang intens diberlakukan dalam situasi ketika perempuan itu seharusnya “ada”. Perihal “ada” adalah suatu refleksi kepada yang merasa ada. Refleksi tersebut ditampilkan berupa tanda titik-titik (....). Hemat saya, simbol (tanda) titik-titik adalah suatu tanya: sampai kapankah? Sampai kapankah perempuan bisa “ada” pada puncak keserasian? Sampai kapankah perempuan secara mutlak ada di dalam “ada”? Dan memang, Dhenok ketika mengakhiri puisinya diawali dengan sebuah pertanyaan refleksi.Perhatikan bait ke-4 baris ke-1, Orang tiada siapakah sesungguhnya? / Orang tiada ialah yang tiada hati bagi orang tiada / Orang tiada ialah yang tiada faedah bagi orang tiada / Sebab tiada cinta kita pun sejatinya tiada! /.

Jika tidak diteliti secara cermat, maka pembaca akan “terkecoh” dengan antonimi terhadap “Orang Tiada”pada baris ke-2 dan ke-3 (bait ke-4); yang memiliki konsep berbeda. Sebab “orang tiada” pada akhir kedua baris tersebut merujuk pada “yang merasa ada”. Mengapa demikian? Tentunya hal dimaksud adalah “sikap ekstrim / protes” kepada yang merasa ada. Dhenokdalam amanatnya mengharuskan suatu sikap dan tindakan yang tegas dari kaum perempuan; bahwa bukan saatnya lagi “hati” diandalkan. Hati dalam batasan saya seturut baris ke-2 identik dengan “kelemahan”. Lebih jelasnya camkan baris terakhir; di sana Dhenok seolah menyangkal cinta. Ialah cinta yang membelenggu, menyekat, membatasi, dan mencengkeram. Demikian, antara cinta dan tiada cinta; keadilan nyaris tak seimbang. Bayangkanlah! Cinta itu ada, tetapi tetap ada “orang tiada”, apalagi tiada cinta. Sebab tiada cinta kita pun sejatinya tiada.

Kenyataan lain yang dapat ditemui bahwa puisi ini adalah cermin feminisme (hemat saya) ada pada pengulangan “Orang tiada” pada setiap awal baris dalam bait-bait. Dhenok Kristanti mengulang “Orang tiada” sebanyak 15 kali. Dalam penafsiran lain, angka 15 jika disandingkan dengan angka kelahiran; yang adalah situasi keberadaan manusia di dunia, maka pemaknaannya merujuk pada Al Qur’an yang sepadan dengan juz 15. Karakter diri juz 15 adalah selalu optimis dan pemberontak (Darulqohar, 2011). Pemberontak dalam konotasinya adalah sebuah upaya perjuangan yang senantiasa mencari solusi atau jalan keluar dari suatu kungkungan. Lantas, bagaimana upaya Dhenok dalam mencari jalan keluarnya? Perhatikan secara menyeluruh pada tubuh puisinya. Pengulangan kalimat “Orang tiada” pada setiap baris dalam bait puisi; di sana Dhenok menciptakan celah berupa garis lurus. Hemat saya, inilah cara Dhenok mencari jalan keluar sebagai suatu upaya dari gerakan yang semarak dikatakan “feminisme”. Di sana amanah Kartini dikumandangkan. Di sana suara perempuan diperdengarkan. Di sana gugatan terkait feminisme begitu menggema.

Beberapa usaha perjuangannya telah ditempuh bersama sahabat karibnya Nana Ernawati (kedua penyair yang produktif sejak era 1980-an). Dalam sebuah kesempatan yang bertepatan dengan acara Bentara Budaya Bali 2011, Ni Ketut Sudiani mengakui bahwa “Kreativitas menjadi daya hidup para seniman. Bersama Dhenok dan Nana yang sama-sama tumbuh di era 80-an, kita dapat berdiskusi lebih jauh tentang fenomena perempuan penyair di masa tersebut sekaligus menelusuri posisi mereka di ranah kesusastraan Indonesia.” Perjuangan lain yang sedang dijalankan saat ini, Dhenok bersama sahabat-sahabat di Komunitas Sastra Joebawi tengah khusuk dengan antologi puisi di bawa tema: “Membaca Kartini: Emansipasi dan Kesataraan Gender” dan beberapa apresiasi lainnya.

Dengan demikian, celah perjuangan yang telah diciptakannya dalam Puisi “Orang Tiada (kepada yang merasa ada) adalah “buah ranum yang sarat gizi” bagi tubuh kesusatraan Indonesia.


 Herman Efriyanto Tanouf
 Kupang, 20 Maret 2016

Tersebar pada media online Flores Sastra 

Comments