Foto: from google_blog IVANDA |
Saya,
anda, dan mungkin mereka tidak akan pernah berhenti menilai sosok perempuan
dalam berbagai sudut pandang. Mungkin intensitas dari penilaian itu adalah
salah satu cara untuk memahami dan mengerti makhluk yang bernama perempuan.
Memang, “mereka selalu ingin dimengerti” (kalimat
usang). Saya katakan demikian dalam kapasitas sebagai laki-laki.
Perempuan dalam perjalanan sejarahnya melewati
masa-masa suram, bahkan pada situasi tertentu perempuan benar-benar “mati”.
Status dan posisinya dalam berbagai bidang kehidupan dikungkung, suaranya
dibungkam, kreativitasnya dikulum. Situasi yang demikian menimbulkan berbagai
pergerakan yang disemarakkan kaum perempuan di seluruh belahan dunia (feminism). Dalam dunia ekspresi sani (sastra) perempuan
pun mengalami situasi yang sama. Di NTT sendiri pergerakan perempuan dalam
bidang seni tengah “heboh” dengan panggung Teater
Perempuan Biasa. Namun, dalam ulasan ini saya tidak membahas perihal
dominasi maskulin terhadap feminim. Motifnya lebih intens pada proses kreatif
perempuan dalam memadukan curahan hati dan imajinasinya dalam karya sastra
(puisi). Curahan hati dimaksud tentunya beranjak dari catatan dan rekaman akan
peristiwa yang dilihat, dialami, dan dirasakan.
Perempuan
ketika menggeluti dunia sastra memiliki kecenderungan untuk “terlepas dari segala
ikatan simbolis” dalam berkarya. Semisal puisi sebagai hasil curahan hati dan
imajinasi perempuan; akan sangat gurih
untuk dibaca dan dicerna. Oleh sebab itu, dalam ulasan ini saya menghadirkan
karya dari beberapa penyair yang “berjenis kelamin laki-laki” (bukan
pengkategorian). Pembaca yang masih awam dengan puisi ketika disajikan pilihan
puisi kontemporer Sutardji Calzoum Bachri, maka mereka akan lebih memilih Aku Ingin-nya Sapardi Djoko Damono. Sebagai contoh:
(Sutardji Calzoum
Bachri)
Struktur
dalam tubuh puisi “Q” sarat huruf dan tanda baca (semion) sebagai ekspresi Sutardji. Pembaca akan dituntut untuk
lebih mengaktifkan indera penglihatan (efek visual) daripada kepekaan rasa
(taktik). Tipografi puisi yang ditampilkan pun memungkinkan pembaca melihat
bintang ataupun bangunan. Nyaris tiada kata-kata (memerdekakan kata-kata).
Ingatlah kredo puisi Sutardji. Puisi
tipografi Sutardji pada tahapan ini menonjolkan obskurantisme. Demikian sarana kepuitikan yang “menyembunyikan
makna” dirinya. Pembaca yang tidak gelisah akan “malas” untuk membongkar
konklusi[1]
puisi “Q” dalam alif, lam, dan mim. Sebab
puisi tersebut bisa saja menghendaki seseorang untuk sejenak membuka Al-quran
dan menemukan intention-nya.
Sebaliknya, bandingkan penggalan puisi berikut:
Aku Ingin
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya abu.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan,
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.
(Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni, 1994)
Demikian
puisi yang merasuk perasaan pembaca (sense
of feeling) dari segala kalangan, sedari yang muda hingga tua renta. Tanpa
dijelaskan, pembaca akan merasakan getaran-getaran sebagai akibat dari “setruman
halus” puisi tersebut. Beragam interpretasi terjadi secara langsung dari
suguhan metafora epik yang ditawarakan Sapardi. Kendati demikian, paradoks
tetap terimplisit dalam puisi tersebut.
Perbandingan
lainnya, dapat kita temukan dalam mahakarya salah satu icon penyair muda Indonesia; Mario F. Lawi. Pembaca pada umumnya
dan khususnya kawula muda akan lebih nyaman dengan puisi-puisi curahan (romantisme) Mario dibanding tawaran
puisi-puisi revelationya. Jika
“penjaga gawang” puisi Kompas dan Tempo dibuat pusing Mario, bayangkan saja
seberapa banyak muda-mudi yang “garuk kepala” saat membaca puisi-puisi
alkitabiahnya? Bukan berarti saya membatasi pembaca seturut usia, tetapi memang
demikian nyatanya bahwa Mario dalam khazanah perpuisian Indonesia telah menorehkan
jejak yang sulit ditelusuri. Joko Pinurbo ketika ditanya Najwa Shihab tentang
eksistensi para penyair muda Indonesia, ia
menempatkan Mario pada posisi “sosok penyair muda inspiratif”[2].
Berikut
sajak-sajak bandingan dimaksud:
Semestinya tak ada yang dilenyapkan dengan angkara.
Semesta adalah kelengangan yang menumbuhkan ilalang di antara gandum. Para
penuai masih terlelap sebab anggur terbaik yang terminum semalam disisihkan
tuan rumah hingga akhir pesta. Di sisi Nuh, Lot ikut menengadah. Anggur dalam
tempayan terakhir telah habis ditenggak. Setelah air setelah api, mereka sama
menanti, apalagi yang akan dimuntahkan langit ke atas mezbah yang kehilangan
puja-puji?
Naimata, 2011-2014
Jika
dalam puisi “Q” Sutardji menghendaki pembaca untuk membuka Al-quran, maka pada
puisi di atas Mario menghendaki pembaca untuk membuka Alkitab atau setidaknya
menghadirkan dalam benak akan beberapa kisah dalam Perjanjian Lama. Entah
pernah dibaca ataupun didengar dalam kotbah para Imam (Pendeta). Puisi berikut:
Aku Mencintaimu[4]
Dengan sepasang paru-paru
Udaranya adalah kamu.
Dengan detak jantung dan aliran darah
Mendenyut-alirkan namamu.
Dengan hati dan segala bentuk sistemnya
Tiada habis-habisnya mencerna kamu.
Dengan berjuta pori-pori
Meruap-riuhkan sukacitamu.
Naimata, 2011
Tanpa dikehendaki “Aku
Mencintamu” akan merasuki pembaca dalam sekejap, bahkan dibaca berulang
kali dan direkam dalam memori. Pembaca mendapatkan lagi “jurus jitu” untuk
meluluhkan hati dari sosok yang dikagumi, mungkin. Artinya bahwa ketika membaca
puisi tersebut, respon imajinasi pembaca tidak “terbelit” akan citraan penyair.
Sebab pembaca tidak sedang khusuk mencari persembunyian penyair. Dalam puisi
tersebut, penyair menghadirkan tubuh sebagai pusat citraan. Dengannya pembaca
tidak harus berkerut kening saat menikmati sajian penyair. Pilihan diksi
seperti paru-paru, udara, jantung, darah,
denyut, hati, pori-pori, serentak membawa pembaca “ada dan hadir” di dalam
puisi tersebut. Di sana ada kehidupan. Di sana ada cinta. Mencintaimu itu seperti mencintai
kehidupanku, saat nafas masih berhembus, cinta itu takkan pernah mati.
Perhatikan, penyair menandaskan secara mutlak bahwa aku mencintaimu adalah sukacitamu. Mario pada tahap ini ingin
menyambung lidah Sapardi, aku ingin
mencintamu dengan sederhana sebagaimana aku mencintai diriku sendiri.
Hakekatnya, aspek
kepuitisan sangat menentukan dan memberi gambaran tentang sejauh mana penyair
memberi pengertian kepada pembaca.[5]
Lalu, apakah puisi “Q” dan “Sepasang Hikayat” tampak gagal menyapa
pembaca dibanding “Aku Ingin” dan “Aku Mencintaimu”? Tentunya tidak! Tanpa
memberikan interpretasi lebih jauh.
Kembali pada sentilan awal tentang kecenderungan penyair perempuan. Agak
berbeda dengan puisi-puisi di atas. Penyair perempuan dalam gubahan puisi memiliki keunikan tersendiri. Sri Jayantini
(SJ)[6]
adalah salah satu penyair yang menjadikan puisinya sebagai wadah untuk
mencurahkan segala pengalamannya tanpa “persembunyian” yang intens. Keluh kesah
batinnya sebagai akibat dari rekaman peristiwa dan perjalanan dicurahkan secara
“polos” dengan beragam citraan yang ditemui. Buku puisi dan prosanya “Bunga Perjalanan”,[7]
hemat saya adalah salah satu keterwakilan bagi “penyair perempuan” pada
umumnya. Sekali lagi, bukan tentang pengkategorian penyair menurut jenis
kelamin. Saya tidak membahas dunia kepenyairan Indonesia yang bergerak pada
kapasitas “maskulinitas”.
Rujukan dalam pembahasan ini lebih kepada persoalan “persembunyian penyair”
dengan segala “teka-tekinya”. Sebagaimana “Q”nya
Sutardji ataupun mungkin keterwakilan pemilik Lelaki Bukan Malaikat, Mario F. Lawi dalam Sepasang Hikayat dan beberapa puisi lainnya yang “menghendaki”
pengetahuan dan pengalaman pembaca (relatif).
Di sini saya kemukakan situasi pembaca ketika mengakrabi puisi.
Terkait hal tersebut, SJ dalam beberapa pilihan puisinya mengumbar
“kepolosan” proses kreatifnya; tanpa menanggalkan unsur-unsur dan sarana
kepuitikan. SJ mengandalkan paduan pengalaman indrawi (sensoric) dalam usaha mencipta puisi. Sehingga ketika dibaca, akan
muncul “rentetan stimulus” .
Perhatikan penggalan salah satu puisi berikut:
Di
Katedral Tukad Musi
Pernah aku merasa asing dengan wajah sendiri
Namun segera kukenali lagi di pagi kontemplasi
“Kamu tampak cantik hari ini, putriku.
Baju renda putih dan pita violet di rambutmu
Rasakanlah sejuknya hari ini.
Rangkai doa tertata, air termantra membasuh di ubun-ubun
Kecilmu menyambutnya dengan tangis
Saat itu haru dan bahagia aku tanam dalam-dalam
Suatu ketika, bila mata hatimu terbuka
Engku akan tahu jalanku jalanmu bermuara
pada satu noktah: cahaya tak bersilsilah
karena nada cinta kita
Tak hanya panggilan lonceng hari Minggu
Tak henti di dalam wangi cempaka atau kenanga
Tetapi
Kasih yang kau manjakan mekarnya menjadi edelweis
Sebelum menelaah lebih jauh, ketika membaca penggalan puisi di atas kita
akan dibawa masuk dalam suasana yang teduh. Penyair mengakrabi pembaca melalui
permainan metafor yang “hangat dan empuk”. Ia seperti sedang bercerita. Ia
membawa kita hanyut di dalamnya. Sekalipun demikian, boleh kita katakan bahwa
ada “kegelapan” diksi dalam puisi naratif ini. SJ mengumbar citraannya hinggal
alpa mengahdirkan surprise.
Pada puisi di atas, penyair mengerahkan beberapa imaji. “Kamu tampak cantik hari ini, putriku./ Baju
renda putih dan pita violet di rambutmu (visual image), Rasakanlah sejuknya hari ini./ Rangkai doa tertata, air termantra membasuh
di ubun-ubun (tactual image) Kecilmu
menyambutnya dengan tangis (auditory image) Tak henti di dalam wangi cempaka atau kenanga (olfactory image).
Maka pembaca yang tidak mengalami ketergetaran adalah ia yang telah mati
sebelum meninggal.
Sesungguhnya “Di Katedral Tukad Musi”, SJ sedang bercermin. Di wajah
anaknya, ia menemukan dirinya. Baginya, seorang anak gadis adalah warisan,
hingga terkadang pewaris “lupa diri”. Pernah
aku merasa asing dengan wajah sendiri/ namun segera kukenali lagi di pagi
kontemplasi/ “Kamu tampak cantik hari ini putriku. Cermin ini pun dapat
kita temukan dalam puisi “Kepada Perempuanku”. Di sana SJ dalam statusnya
sebagai anak menyatakan dirinya secara reflektif. Berikut cuplikan bait
terakhir puisinya:
Bahwa kita adalah mozaik
Menjadi noktah bintang
penyempurna langit
“Kita berkapal di laut mana, Ibu?”
Bila itu tanyamu suatu waktu
“Kita boleh punya kebenaran sendiri, anakku.”
Jawabku dengan sepenuhnya samudera “tetapi”
Pada akhirnya
Kau akan dibuat mengerti
Setelah memilih sendiri lalu berdiri
Walau tiada hakmu
Atas darah dan nama
Mengapa tak kusebut diriku
Untuk dirimu
Menariknya bahwa selain memunculkan kata konkret “mozaik”, pada bait puisi
tersebut SJ memberikan surprise
berupa citraan akan semesta. Bintang,
langit, samudera adalah “kunci” untuk menghadirkan cerminan diri. Gambaran
pada awal bait puisi di atas mengandaikan ibu dan anak tengah (saling)
bercermin. Ibu kepada anak dan sebaliknya. Ketahuliah, bintang dan langit dapat
kita jumpai pada samudera. Itulah cermin. Perhatikan pilihan baris puisi “Kita
berkapal di laut mana, Ibu?/ Bila itu tanyamu suatu waktu/ “Kita boleh punya
kebenaran sendiri, anakku.”/ Jawabku dengan sepenuh samudera “tetapi”/.
SJ dalam kebanyakan puisiya (terlepas dari prosa) menulis tentang dirinya sendiri.
Keperempuanan diekspresikan sebagai kekhasan yang dimilikinya. Oleh karenanya,
ia menyisipkan kata “bunga”sebagai judul buku puisi dan prosanya. Sebab bunga
identik dengan perempuan. Sifat perempuan yang digambarkan sangat kental dalam
puisinya “Kepada Ibu”. Ia membuka puisinya dengan sebuah gugatan: Ibu,/ Mungkin unsur lelaki dalam udara tubuh
kita/ Berbeda kadarnya/. Gugatan terhadap dimonasi maskulinitas pun
disampaikan dalam keraguan. Mungkin
tidak menggambarkan optimisme. Ada keraguan dan ketakutan untuk mengatakan hal
tersebut. Sehingga dalam puisi ini ia pun menulis tentang puisi itu sendiri. Puisi adalah laguku bagimu/ Olah rasa unsur
perempuan/ Sejak embrioku membesar/ menyesaki rahim/ ngalir bersama darahmu/.
Ia yakin hanya puisi yang mampu menjadikan perempuan begitu sempurna. Embrio, rahim, dan darah adalah
pertalian akan “ada”nya perempuan sungguh berarti bagi “ada”nya kehidupan. Amat
sempurna.
Tentang kekhasan SJ ini, Hélène
Cixous
(Novelis) pernah menantang perempuan untuk menulis tentang dirinya sendiri di
luar dunia dan pikiran laki-laki. Suatu tulisan yang datang dari
catatan-catatan perempuan tentang perasaan, pemikiran, dan denyut kehidupannya
yang ia alami dan rasakan. Tulisan perempuan menjadi terbuka, plural, penuh
ritmik, kegairahan, dan segala kemungkinan-kemungkinan.[8]
Cyntha Hariadi (Pemenang ketiga
Sayembara Manuskrip Buku Puisi DKJ 2015) ketika mencoba untuk mencari medium
ekspresi perasaan, ia menemukan puisi sebagai media untuk mengekspresikan
kompleksitas perasaannya.[9]
Ia benar-benar mengalami “orgasme imaji” saat menulis puisi. Hal ini pun
dialami oleh SJ dalam kumpulan puisi dan prosanya.
Dari sekian puisi dan prosa dalam buku
tersebut, SJ mencapai suatu kesimpulan melalui prosa “Bunga Perjalanan” (saya
tidak membahasnya panjang-lebar). Ia menulis tentang segala peristiwa kehidupan
yang dibawanya dalam refleksi. Ia masuk dan berdiam diri. Menabur benih imaji
yang dipetik dari bunga-bunga perjalanan (di luar dan dalam dirinya) hingga
kemudian menumbuhkan puisi dan prosa. SJ menguak segala kejadian melalui
deskripsi dan ekspresi perasaan. Saya katakan demikian, karena SJ tidak sedang
berkeluh kesah. Ia hanya bergerak untuk keluar dari pengkotakan simbolik.
Ingat catatan awal, saya menghadirkan
beberapa karya Sutardji, Sapardi, dan Mario Lawi untuk membedakan (setidaknya
jelas) pengaruh masculine writing dan
feminine writing. Ketika membaca
sebagian besar karya-karya mereka, tentunya berbeda dengan respon kita
(kemungkinan) saat membaca karya-karya SJ dan penyair perempuan pada umumnya.
Herman Efriyanto Tanouf
Tersebar pada Jurnal Sastra Santarang edisi Agustus 2016
[1] Hidayatulloh,
Analisis Puisi Kontemporer Berdasarkan
Pendekatan Struktural, Januari 2010
[2] Simpulan bacaan penulis pada hasil wawancara dalam Asean Literary Festival 2016
[3] Puisi
Mario F. Lawi pada Mingguan Kompas,
20 April 2014.
[5] Pradopo,
Rachmat Djoko. 2009. Beberapa Teori sastra,
Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
[6] Sri Jayantini
(SJ) adalah nama pena dari penulis yang bernama lengkap I Gusti Agung Sri Rwa
Jayantini. Penulis berdarah Bali, kelahiran Denpasar 15 Januari 1977.
[7]
Kumpulan puisi yang merupakan wajah baru dari kumpulan puisi “kecil”
sebagai tanda mata sebuah peristiwa penting saya (Sri Jayantini) pada 2010.
Demikian catatan penulis pada hal. v.
[8] Hasil
pembacaan saya pada artikel Gadis Arivia yang menulis tentang profil Malala
Yousafzai dalam Jurnal Perempuan
[9] Zulqaidah. Mengeksplorasi
Diri Melalui Puisi. Republika epaper, Kamis, 11 Agustus 2016. Diakses pada
11-08-2016, 19:00 Wita.
Comments