SEJOLI (10)




Malam tanpa senyum rembulan. Alunan instrument Mozart (Theme from Elvira Madigan -  Andante) sayup-sayup terdengar; imbangi remang pijar dalam kamar. Di sudut ruangan, cahaya lilin tak kalah cercahnya. Maklum, lima menit yang lalu dua insan khusuk dalam doa. Diam. Tenang. Hening. Di tempat tidur, sejoli (kekasih)sibuk dengan batin masing-masing dalam baring. Tanpa suara. Tanpa kata. Lalu, semuanya pecah.  Perlahan, percakapan pun dimulai. Di sana. Di bawah sadar.

Cewek:“Honey...?”

Cowok: “Iya Honey...”

Cewek: (Suara berat) “Aku takut!”

Cowok: (Penasaran) “Takut? Takut apa? Takut pada siapa?”

Cewek: “Honey, aku tidak takut apa-apa juga pada siapa. Aku hanya takut dengan diri sendiri. Keputusan ini. Beberapa menit lalu sebelum kita sesal dalam doa.”

Cowok: “Bukankah keputusan tadi adalah kehendak kita bersama?”

Cewek: “Ya, memang. Tapi, setelah semua terjadi macamnya ada sesal di ini hati.”

Cowok: “Haruskah kita kembali jilati ludah yang telah disembur?”

Cewek: “Ah, kamu masih saja berlagak puitis di tengah gelisahku”

Cowok: “Lah, kata-katamu sendiri itu puitis.”

Cewek: “Ya, sudah. Lupakan! Intinya saat ini aku masih takut. Rasanya lebih takut dari kehilanganmu. Itu saja!”

Cowok: (Nada protes) “Oh, begitu. Jadi, takutmu itu lebih dari rasa takut jikalau kehilangan aku? Artinya aku tidak berarti lebih bagimu?”

Cewek: (Berusaha menjelaskan. Bibir gemetar. Suara parau. Terbata kata) “Buuu..kan begitu maksudku honey. Haaa...rusnya, kaaa...mu mengerti. Aaa...ku ini perempuan. Aaa...pa yang telah kita lakukan tadi, tentunya menyisakan traaa...uuuma bagiku. Lihatlah, masih ada bercak darah di sekujur tubuhku. Baaa...nyak. Demikian takutku ini honey. Berujung traaa...uuu...ma, itu pasti! (Terhenti sejenak. Semakin gelisah. Takut. Sesal. Begitu rapuh. Kata-kata serasa sesak untuk dilontarkan. Hingga untuk sesaat, airmata yang bicara. Diam. Lalu, kata-kata yang dikulum dilontarkan. Perlahan) “Honey, masihkah kau ingat? Bercak darah perawanku saat malam pertama itu adalah takut dan sakiiit yang bahagia. Darah yang membasuh rasa gelisah, takut dan keraguanmu akan murninya tubuh yang kini sepenuhnya milikmu.Ya, darah dan sakit yang bahagia. Bagiku dan tentunya bagimu. Malah bahagiamu itu lebih dari bahagiaku. Sebab sakalipun aku bahagia, ragumu adalah kecewa dan luka bagiku.”

Cowok: (Berparas sayu. Tanpa kedip. Sepertinya dihipnotis curah kekasih yang terbata dan sesekali merentet kata. Ia diam. Tanpa kata. Tanpa suara. Ada aura sesal yang terpancar)

Cewek: “Semoga diammu itu pertanda bahwa kau mengerti honey”

Cowok: (Menatap wajah kekasih. Diulurkan tanggan dan mengusap wajah – kening kekasihnya. Ia angkat bicara) “Honey, aku kini mengerti tentang gelisah dan takutmu. Tentang bercak darah perawan dan darah yang masih mengental di tubuhmu – tubuhku. Maafkan aku honey. Tak pernah terpikirkan olehku jika apa yang telah kita lakukan adalah dosa terbesar; dosa terberat. Sungguh, aku telah berdosa terhadapmu, terhadap dia, terhadap mereka dan terlebih terhadap Tuhan. Cemburuku membuta. Bukan tanpa alasan, mantanmu itu mengantarkan kartu undangan pernikahan mereka. Seharusnya itu menjadi motivasi bagi kita untuk menjalin silahturahmi. Lebih dari itu menjalin kekerabatan. Harusnya kita jauhi permusuhan dan pertumpahan darah. Sayangnya, kegelapan menguasaiku hingga harus membunuhnya. Aku pembunuh...aku pembunuh...aku pembunuuuh...! Entah apa yang dirasakan calon istrinya, orang tuanya, keluarganya, kerabatnya saat ini? Kebahagiaan yang akan dirajut seketika dirundung duka. Semua karena keegoisanku. Siaaal...! Aku menyesal Honey. Mungkin, maaf dan ampun tak pantas kudapatkan. Sesaaal... Huah... Maafkan aku honey, ampunilah aku honey.”

Cewek: (Mengatup mulut kekasih dengan telunjuknya) “Ssst, maaf selalu ada bagimu honey. Tanpa harus kau pinta. Kau sadari perbuatan tadi, itu sudah sangat cukup bagiku. Tetapi, perihal pengampunan; pintalah itu kepada Tuhan. Sebab pengampunan hanya ada pada-Nya.”

Cowok: (Diam seribu bahasa. Merenung)
***
(Malam panjang terlewati. Kokok jago bersahut-sahutan, dan...)

Cowok: (Raut wajah sebangun tidur tampak jelas. Ia mengusap kedua matanya. Lalu, dibangunkannya kekasih yang tangan dan kakinya masih melingkar erat di tubuh kekarnya) “Honey? Honey? Honey? Ayo bangun! Bangun! Hari sudah mulai pagi.”

Cewek: (Sarat manja) “Hmmmh... masih pengen tiduuur ah”

Cowok:  “Ayo...bangun dah honey. Lah, kok kamu keringatan pagi – pagi? Honeeey? Kamu sakit?”
Cewek: (Dirapihkannya rambut yang terurai. Suara berat) “Aku tidak sakit honey. Cuma lemas saja. Masih terpengaruh mimpi buruk semalam. Yah, mimpi buruk honey.”

Cowok: (Penasaran) “Mimpi buruk? Mimpi apa itu honey? Cerita yuk!”

Cewek: “Mimpi buruk yang panjang. Ceritanya pun pasti panjang honey. Hari ini kan kita harus ke panti asuhan. Kemarin  kamu sendiri sudah janjian dengan pengelola. Kasihan, anak – anak di sana sudah pasti menunggu mainan dan sembako yang sudah kita siapkan. Ceritanya nanti malam saja. Mending, sekarang kita mandi dan siap ke sana ya honey”

Cowok: (Senyum; terselip tawa kecil. Lalu, dikecup kening kekasihnya. Bahagia) “Iya honey. Bahagianya memilikimu. Tidak hanya cantik fisik, tetapi hati dan jiwamu pun lebih dari cantik. Kamu, malaikat yang dikirim Tuhan untukku”

Cewek: “Ah, masih mau gombal? Anak – anak panti sudah menunggu! Gombal-gombalnya sekalian sama cerita mimpi malam nanti.”
(Keduanya tertawa lebar. Dan...)

***
Catatan:
Setiap kita punya mimpi. Mungkin satu, dua dan banyak mimpi. Terkadang, mimpi ini – mimpiitu datang dan menyapa kita. Mungkin mimpi baik atau sebaliknya. Kendati demikian, apapun yang ada dalam impian (cita) dan ataupun mimpi (alam bawah sadar manusia – bunga tidur), kebajikan dan kebijaksanaan hendaknya tidak menjadi sebuah mimpi. Biarlah ia menyata dari kesadaran nurani dan lubuk hati yang paling dalam. Itu cinta. Cinta yang membenci cemburu (berlebihan), cinta yang memusuhi permusuhan, cinta yang mematikan pembunuhan; cinta yang universal.

(Herman Efriyanto Tanouf. Oeba, 16-11-2016. Basa-basi bersama hujan November yang menyapa Kota Kupang untuk kesekian kalinya)

Comments