Malam tanpa senyum rembulan. Alunan instrument Mozart (Theme from Elvira Madigan - Andante) sayup-sayup terdengar; imbangi
remang pijar dalam kamar. Di sudut ruangan, cahaya lilin tak kalah cercahnya.
Maklum, lima menit yang lalu dua insan khusuk dalam doa. Diam. Tenang. Hening.
Di tempat tidur, sejoli (kekasih)sibuk dengan batin masing-masing dalam baring.
Tanpa suara. Tanpa kata. Lalu, semuanya pecah.
Perlahan, percakapan pun dimulai. Di sana. Di bawah sadar.
Cewek:“Honey...?”
Cowok: “Iya Honey...”
Cewek: (Suara berat) “Aku takut!”
Cowok: (Penasaran) “Takut? Takut
apa? Takut pada siapa?”
Cewek: “Honey, aku tidak takut apa-apa juga pada siapa. Aku hanya takut
dengan diri sendiri. Keputusan ini. Beberapa menit lalu sebelum kita sesal
dalam doa.”
Cowok: “Bukankah keputusan tadi adalah kehendak kita bersama?”
Cewek: “Ya, memang. Tapi, setelah semua terjadi macamnya ada sesal di ini
hati.”
Cowok: “Haruskah kita kembali jilati ludah yang telah disembur?”
Cewek: “Ah, kamu masih saja berlagak puitis di tengah gelisahku”
Cowok: “Lah, kata-katamu sendiri itu puitis.”
Cewek: “Ya, sudah. Lupakan! Intinya saat ini aku masih takut. Rasanya lebih
takut dari kehilanganmu. Itu saja!”
Cowok: (Nada protes) “Oh, begitu.
Jadi, takutmu itu lebih dari rasa takut jikalau kehilangan aku? Artinya aku tidak
berarti lebih bagimu?”
Cewek: (Berusaha menjelaskan. Bibir
gemetar. Suara parau. Terbata kata) “Buuu..kan
begitu maksudku honey. Haaa...rusnya, kaaa...mu mengerti. Aaa...ku ini
perempuan. Aaa...pa yang telah kita lakukan tadi, tentunya menyisakan traaa...uuuma
bagiku. Lihatlah, masih ada bercak darah di sekujur tubuhku. Baaa...nyak.
Demikian takutku ini honey. Berujung traaa...uuu...ma, itu pasti! (Terhenti sejenak. Semakin gelisah. Takut.
Sesal. Begitu rapuh. Kata-kata serasa sesak untuk dilontarkan. Hingga untuk
sesaat, airmata yang bicara. Diam. Lalu, kata-kata yang dikulum dilontarkan.
Perlahan) “Honey, masihkah kau ingat? Bercak darah perawanku saat malam
pertama itu adalah takut dan sakiiit yang bahagia. Darah yang membasuh rasa
gelisah, takut dan keraguanmu akan murninya tubuh yang kini sepenuhnya milikmu.Ya,
darah dan sakit yang bahagia. Bagiku dan tentunya bagimu. Malah bahagiamu itu
lebih dari bahagiaku. Sebab sakalipun aku bahagia, ragumu adalah kecewa dan
luka bagiku.”
Cowok: (Berparas sayu. Tanpa kedip.
Sepertinya dihipnotis curah kekasih yang terbata dan sesekali merentet kata. Ia
diam. Tanpa kata. Tanpa suara. Ada aura sesal yang terpancar)
Cewek: “Semoga diammu itu pertanda bahwa kau mengerti honey”
Cowok: (Menatap wajah kekasih.
Diulurkan tanggan dan mengusap wajah – kening kekasihnya. Ia angkat bicara)
“Honey, aku kini mengerti tentang gelisah dan takutmu. Tentang bercak darah
perawan dan darah yang masih mengental di tubuhmu – tubuhku. Maafkan aku honey.
Tak pernah terpikirkan olehku jika apa yang telah kita lakukan adalah dosa
terbesar; dosa terberat. Sungguh, aku telah berdosa terhadapmu, terhadap dia, terhadap
mereka dan terlebih terhadap Tuhan. Cemburuku membuta. Bukan tanpa alasan,
mantanmu itu mengantarkan kartu undangan pernikahan mereka. Seharusnya itu
menjadi motivasi bagi kita untuk menjalin silahturahmi. Lebih dari itu menjalin
kekerabatan. Harusnya kita jauhi permusuhan dan pertumpahan darah. Sayangnya,
kegelapan menguasaiku hingga harus membunuhnya. Aku pembunuh...aku
pembunuh...aku pembunuuuh...! Entah apa yang dirasakan calon istrinya, orang
tuanya, keluarganya, kerabatnya saat ini? Kebahagiaan yang akan dirajut
seketika dirundung duka. Semua karena keegoisanku. Siaaal...! Aku menyesal
Honey. Mungkin, maaf dan ampun tak pantas kudapatkan. Sesaaal... Huah... Maafkan
aku honey, ampunilah aku honey.”
Cewek: (Mengatup mulut kekasih dengan
telunjuknya) “Ssst, maaf selalu ada bagimu honey. Tanpa harus kau pinta. Kau
sadari perbuatan tadi, itu sudah sangat cukup bagiku. Tetapi, perihal
pengampunan; pintalah itu kepada Tuhan. Sebab pengampunan hanya ada pada-Nya.”
Cowok: (Diam seribu bahasa. Merenung)
***
(Malam panjang
terlewati. Kokok jago bersahut-sahutan, dan...)
Cowok: (Raut wajah sebangun tidur
tampak jelas. Ia mengusap kedua matanya. Lalu, dibangunkannya kekasih yang
tangan dan kakinya masih melingkar erat di tubuh kekarnya) “Honey? Honey?
Honey? Ayo bangun! Bangun! Hari sudah mulai pagi.”
Cewek: (Sarat manja) “Hmmmh...
masih pengen tiduuur ah”
Cowok: “Ayo...bangun dah honey. Lah,
kok kamu keringatan pagi – pagi? Honeeey? Kamu sakit?”
Cewek: (Dirapihkannya rambut yang
terurai. Suara berat) “Aku tidak sakit honey. Cuma lemas saja. Masih
terpengaruh mimpi buruk semalam. Yah, mimpi buruk honey.”
Cowok: (Penasaran) “Mimpi buruk?
Mimpi apa itu honey? Cerita yuk!”
Cewek: “Mimpi buruk yang panjang. Ceritanya pun pasti panjang honey. Hari
ini kan kita harus ke panti asuhan. Kemarin
kamu sendiri sudah janjian dengan pengelola. Kasihan, anak – anak di
sana sudah pasti menunggu mainan dan sembako yang sudah kita siapkan. Ceritanya
nanti malam saja. Mending, sekarang kita mandi dan siap ke sana ya honey”
Cowok: (Senyum; terselip tawa kecil.
Lalu, dikecup kening kekasihnya. Bahagia) “Iya honey. Bahagianya
memilikimu. Tidak hanya cantik fisik, tetapi hati dan jiwamu pun lebih dari
cantik. Kamu, malaikat yang dikirim Tuhan untukku”
Cewek: “Ah, masih mau gombal? Anak – anak panti sudah menunggu!
Gombal-gombalnya sekalian sama cerita mimpi malam nanti.”
(Keduanya tertawa
lebar. Dan...)
***
Catatan:
Setiap kita punya mimpi. Mungkin satu, dua dan banyak mimpi. Terkadang,
mimpi ini – mimpiitu datang dan menyapa kita. Mungkin mimpi baik atau
sebaliknya. Kendati demikian, apapun yang ada dalam impian (cita) dan ataupun
mimpi (alam bawah sadar manusia – bunga tidur), kebajikan dan kebijaksanaan
hendaknya tidak menjadi sebuah mimpi. Biarlah ia menyata dari kesadaran nurani
dan lubuk hati yang paling dalam. Itu
cinta. Cinta yang membenci cemburu (berlebihan), cinta yang memusuhi
permusuhan, cinta yang mematikan pembunuhan; cinta yang universal.
(Herman Efriyanto Tanouf. Oeba, 16-11-2016. Basa-basi bersama hujan November yang menyapa Kota
Kupang untuk kesekian kalinya)
Comments