Di kamar. Listrik padam. Hanya nyala lilin yang menerangi seisi ruangan. Sepasang kekasih. Si cewek membaringkan tubuhnya berbantalkan pangkuan si cowok. Ada cakapan.
Cewek: "Sayang, buatkan aku sebait puisi!"
Cowok: Tertawa kecil "Sayang, bukannya sudah seribu puisi telah kugubah hanya untukmu? Kalau tidak salah puisi terakhir adalah saat valentine kemarin". Suara parau.
Cewek: "Iya sayang. Aku tahu. Tapi, dari seribu puisi tersebut belum ada satupun yang sesuai permintaanku ini" suara parau.
Cowok: "Nah, memangnya maksudnya sayang puisi seperti apa?" nada cemas.
Cewek: sedikit manja "Begini sayang. Dari puisi pertama hingga terakhir..."
Cowok: memotong bicara kekasihnya "Sayang, puisi tentangmu takkan pernah berakhir selagi nafas ini masih berhembus. Sedari fajar hingga malam menjemput senja, setiap saatnya selalu ada puisi bagimu."
(Situasi hening-untuk sesaat)
Cewek: nada sayu "Kamu tidak mengerti sayang. Dengarkan aku selesai bicara. Itu kebiasaan buruk kamu. Memotong bicaraku saat khusuk bicara"
Cowok: Mengusap kening kekasihnya; meski tiada peluh. Hanya ada beberapa uraian rambut yang dirapihkannya. Satu kecupan dilayangkan tepat di kening yang diusapnya; dan dengan perlahan angkat bicara
"Maaf berturut ampun sayang!" sembari tertawa kecil.
"Maaf berturut ampun sayang!" sembari tertawa kecil.
Cewek: "Iya, aku maafkan. Tapi soal ampun, pintakan pada Tuhan!"
(Seketika keduanya memecah tawa)
Cowok: "Ayo sayang, kembali ke persoalan. Aku siap mendengarkan"
Cewek: Menatap wajah kekasihnya. Tersenyum.
"Sayang, seribu puisi yang telah kau gubah untukku, semuanya mengisahkan situasi kita di dunia ini. Bahkan mimpi-mimpi kita di hari esok. Aku bahagia untuk semuanya itu. Tapi, ada satu hal yang kau lupa dari seribu puisi tersebut"
"Sayang, seribu puisi yang telah kau gubah untukku, semuanya mengisahkan situasi kita di dunia ini. Bahkan mimpi-mimpi kita di hari esok. Aku bahagia untuk semuanya itu. Tapi, ada satu hal yang kau lupa dari seribu puisi tersebut"
Cowok: "Apa itu sayang?" penuh tanya. Kening berkerut.
Cewek: Sembari menatap wajah kekasihnya "Sayang lupa. Yah, lupa menggubah puisi tentang situasi kita kelak di alam baka. Puisi yang dapat menjauhkan neraka. Puisi yang memampukan kita untuk lebih dekat dengan surga. Setidaknya itu. Bila perlu, puisi yang mampu menghantarkan kita untuk tinggal dan ada bersama-Nya di surga. Itu saja sayang. Cukup satu puisi, jangan lebih!"
Cowok: Diam seribu bahasa. Entah kagum atau heran akan pintaan kekasih itu; yang pastinya ia seperti sedang khusuk dalam kontemplasi. Mungkin, menjelajah imaji untuk menemukan gubahan puisi bagi kekasihnya.
---------------------------------
---------------------------------
Oeba, 18 Februari 2016 (setahun yang lalu)
Herman Efriyanto Tanouf
Herman Efriyanto Tanouf
Catatan:
Terkadang kita lebih sibuk akan hal-hal duniawi. Hal-hal yang telah, sedang, atau mungkin kita alami nanti. Kita lupa mempersiapkan kehidupan setelah kematian.
Terkadang kita lebih sibuk akan hal-hal duniawi. Hal-hal yang telah, sedang, atau mungkin kita alami nanti. Kita lupa mempersiapkan kehidupan setelah kematian.
Foto: from google - Chacha Maharini's blog
Comments