Puisi adalah Doa yang Tak Berkesudahan Apresiasi singkat atas Puisi “Semilir Doa (Kita)” karya Margareth Febhy Irene



Oleh: Herman Efriyanto Tanouf

 Hasil gambar untuk ilustrasi sastra

Secara pribadi dengan status sebagai pembaca, saya sempat tersesatsaat membaca puisi dengan judul “Semilir Doa (Kita)” karya Margareth Febhy Irene (Eby). Puisi ini dipublikasikan pada website floressastra.com tertanggal 27 Juli 2016.Pada saat yang sama Eby kemudian membagikan gubahan ini pada akun facebooknya. Serentak mata saya melotot pada judul puisi tersebut. Bukan pada tubuh puisinya. Saya pun terpenjara. Agar keluar dari balik jeruji, saya melayangkan beberapa kunci untuk membuka pintu solutif berupa komentar singkat. “Saya hanya mau komentar soal salah satu judul puisi yaitu Semilir Doa (Kita). Semilir identik dengan angin (udara). Lebih dari itu adalah hembusan, nafas yang mengarah pada kehidupan. Jika itu adalah semilir doa, maka doa itu tak pernah berkesudahan selagi masih ada kehidupan”. Demikian celoteh yang adalah ketergetaran saya ketika membaca judul puisi tersebut hingga mengundang respon dari seorang pecinta topi. Reinard L. Meo dalam nada canda menandaskan “Saya jatuh cinta pada engkau, HET!” Tentunya bukan pada diri saya, tetapi pada apa yang saya katakan. Nah, kalimat candaan tersebut membahasakan ketergetaran yang sama. Artinya bahwa Eby dalam gubahan puisinya telah berhasil merasuk pembaca dengan tawaran imajinasinya. Mengapa demikian? Pertanyaan mendasar inilah yang kemudian menghendaki saya untuk menelanjangi tubuh puisi Eby.
Pada ulasan kali ini, saya tidak ingin terikat pada segala macam teori kritik yang tampak  mengintervensi penelaahan. Sebab dengan menitikberatkan pada teori-teori yang bergerak pada tataran yang umum dan abstrak tentang kesusastraan maka terdapat kecenderungan yang kuat untuk meninggalkan penelaahan yang konkret terhadap karya sastra. Sebaliknya, ketika ada usaha untuk melakukan penelaahan yang konkret terhadap karya sastra atau melakukan kritik langsung pada karya sastra, teori-teori yang mestinya menjadi alat analisis, tiba-tiba seperti gagal mengemudikan analisis dan interpretasi untuk mengungkap kekayaan makna karya sastra (Subagio Sastrowardoyo; Penyair dan Kritikus Sastra). Di satu sisi, puisi tidak wajib untuk dimengerti. Puisi mesti pertama-tama ditulis atau dibaca untuk dinikmati, bukan untuk dimengerti. Pengertian kepada puisi hanya bonus (Ishack Sonlay; Penyair dan Seniman).
Terlepas dari pengertian kepada puisi, Eby sesungguhnya telah mengindahkan konsep yang ditawarkan Sonlay. Puisi ditulis untuk dinikmati. Puisi dibaca untuk dinikmati. Ketika puisi menjadi milik pembaca, maka kenikmatan itu bisa saja dirasakan atau pun sebaliknya. Di sini, Eby melalui puisinya telah memberikan kenikmatan tersendiri bagi pembaca.Berikutpuisinya:

Semilir Doa (Kita)

Terkadang masih ada sesak
sekitar sebulir kristal menancapkan cahaya
dalam gelap yang masih terang.

Aku
Mati
Rindu dalam gerimis pagi yang masih bau embun


Basah
Derita, menimang rasa akan ketiadaan
Menepuk langkah yang tertinggal tetap.

Jauh
Sebagaimana aku meruas
Sebagaimana aku bercinta

Caraku meluangkan irama
Kenapa jarak sayang?
Semilir doa kita ucapkan bersama

Ruteng, 27 Juli 2016


Membaca puisi “Semilir Doa (Kita)” saya teringat akan akan beberapa baris puisi dalam “Doa”-nya Si Binatang Jalang (Chairil Anwar) yang ditulis pada tahun 1943.

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut nama-Mu

Bayangkan, CA dalam situasi tanpa kata (bukan mati), tanpa daya masih sempat menyebut nama Tuhan. Puisi ini kemudian oleh beberapa sastrawan semisal Arif Budiman dan Narudin Pituin “menjadikan” si Binatang Jalang sebagai Binatang Jinak (dalam ulasan Narudin Pituin: Chairil Anwar Seekor Binatang Jinak: Sebuah Analisis Logika Struktural dan Sosio-Historis, 20 April 2016). Lalu, bagaimana dengan “Semilir Doa”-nya Eby?Jika CA dalam intensitasnya merujuk pada hubungannya dengan Yang Transenden (vertikal), di sini Eby mengintensifkan doanya kepada sesama yang adalah kekasih hati; ada spesifikasi “kita” pada judul puisinya (horisontal). CA dalam termangunya menyebut nama Tuhan, tetapi Eby dalam gelisahnya merindukan sang kekasih. Ia tidak menghendaki agar puisinya mengumbar religiositas. Oleh karenanya, di sana tak ada nama Tuhan.Melalui puisinya, ia ingin menyatakan bahwa harapan adalah bagian intim dari doa. Tetapi ia lupa, justru di sinilah salah satu kealpaan yang dilakukan.Keluh telah dikisahkan, harapan telah dipintakan, apakah doa telah didaraskan? Ataukah doa itu adalah ketika berbisik “Semilir doa kita ucapkan bersama”; isi doa macam manakah yang diucapkan?
Kendati demikian, saya tidak dapat mengatakan bahwa puisi ini masih menggantung atau belum selesai ditulis. Sebab hakikatnya, penyair selalu berkesempatan untuk bersembunyi di balik kata. Agar diketahui, adalah suatu kewajiban bagi pembaca untuk ada dan hadir di dalam kontemplasi puisi. Setebal apapun costume puisi yang dikenakan, sangatlah mungkin untuk ditelanjangi. Karenanya, pembaca seharusnya gemas pada puisi bukan penyairnya.
Telepas dari beberapa hal di atas, jika diperhatikan secara saksama, penyair dalam imagenya tampak mencurahkan situasi subjektifitas; potret dan penyataan diri (tipe penyair seturut Wellek dan Warren, 1989:85). Dalam gambarannya, Eby begitu licikmengerutkan kening pembaca dengan menghadirkan beberapa antitesis.Hal ini termaktub dalam penggambaransituasi dan waktu. Alihkan perhatian pada bait ke-1 baris ke-3; “dalam gelap yang masih terang”. Pembaca yang gelisah, akan sempat jeda dan sejenak berpikir (impossible). Situasi apa yang mampu menggambarkan gelap yang masih terang?Beberapa kemungkinan bisa terbayangkan. Pertama, situasi di saat fajar. Kedua, situasi siang dengan gemawan pekat (mendung menanti hujan). Ketiga, situasi senja yang nyaris menjemput malam. Keempat, dasar penyair, selalu saja bersembunyi di balik kata (menggerutu). Tetapi logisnya, gelap yang masih terang mengandaikan situasi sebelumnya memang gelap. Itulah malam. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa Eby dalam antitesisnya melukiskan situasi sol oriens.
Situasi fajar ini secara jelas dilukiskan dalam “catur metafor” pada bait ke-2 baris ke-3; “Rindu dalam gerimis pagi yang masih bau embun”. Pada baris ini penyair menunjukkan “liarnya” citraan. Camkan ini: gerimis= hujan = air; embun = air. Lalu, bagaimana mungkin rindu itu seperti gerimis pagi yang masih bau embun?Terlanjur basah, yah mandi saja? Rupanya kerinduan penyair seperti sandingan meditasi dan kontemplasi hingga menimbulkan “orgasme batin”. Memang, penyair benar-benar basah oleh kerinduan. Agar lebih jelas, kita jelajahi setiap bagian dalam tubuh puisinya Eby. Berikut interpretasinya:
Eby membuka puisinya dengan baris yang menopang judulnya. Perhatikan bait ke-1:

Terkadang masih ada sesak
sekitar sebulir kristal menancapkan cahaya
dalam gelap yang masih terang

Pilihan kata “sesak” pada baris ke-1 mengandaikan adanya udara atau nafas yang tersendat.Bahkan sesekali nafas (udara) itu sungguh tiada. Perhatikan baris ke-2, perkiraan sebulir kristal dengan tancapan cahaya merujuk pada kekosongan atau kehampaan (vacum). Hadirnya kata “cahaya” mengingatkan kita pada gelombang elektromagnetik (tanpa medium). Gelombang cahaya tersebut kemudian direfraksi dengan hadirnya “gelap” pada baris ke-3, sekalipun masih terang.“Dalam gelap yang masih terang”, Eby mengalami situasi “dalam termangu”-nya Cairil Anwar.Gambaran ketakberdayaan Eby di tengah perjuangan untuk mengobati kerinduan. Sehingga pada bait ke-2, Eby menjadikan dirinya sebagai orang yang sungguh mati sebelum meninggal.

Aku
Mati
Rindu dalam gerimis pagi yang masih bau embun.


Penyair pada tahap ini diluluhlantakan oleh kerinduan. Gerimis dan embun begitu menyatu membasahi hati. Lebih dari kuyup. Penyair telah menjadi setitik air. Itulah kerinduan. Kita boleh berkata dalam guyon; Eby tengah gegana (gelisah, galau, merana sebagaimana lantunan Cita Citata). Hal ini menyata dalam bait ke-3:

Basah
Derita, menimang rasa akan ketiadaan
Menepuk langkah yang tertinggal tetap.

Ketiadaan dan langkah yang tertinggal membahasakan kekasih yang pergi jauh untuk sementara waktu.Itulah penderitaan.Perhatikan bait ke-3:

Jauh
Sebagaimana aku meruas
Sebagaimana aku bercinta.

Jarak tampak digugat penyair sebagai luka kerinduan. Luka itu menjadi lebih dalam sebagai akibat dari bentangan jarak yang amat jauh. Perhatikan kata “meruas” pada baris ke-2 yang mengisyaratkan penggandaan.Sehingga ketika menutup puisinya, penyair angkat bicara soal jarak.

Caraku meluangkan irama
Kenapa jarak sayang
Semilir doa kita ucapkan bersama.

Irama ialah gelombang kerinduan penyair yang mengugat jarak. Ada tanda (?) di sana. Itulah klimaks dari gelombang kerinduan. Penyair pun akhirnya menyadari bahwa hanya doa yang mampu menyatukan keduanya ( semilir doa kita). Sebab pijakan yang berbeda sekalipun tak akan menghempas setiap doa yang didaraskan. Semilir angin dari keempat penjuru menjadi saksi atas penyair yang tengah merindu. Perhatikan keluh kesah penyair pada empat bait sebelumnya. Demikian kerinduan menjadikan puisi adalah doa yang tidak akan pernah berkesudahan.

Oeba, 28 Juli 2016

Catatan:
telah dipublikasikan pada website floressastra.com  30 Juli 2016

Comments