Refleksi
atas Puisi “Cepat Pulang Unu” karya Ishack Sonlay
Oleh: Herman Efriyanto Tanouf
Afrizal Malna ketika mengulas buku puisi Kuyup Basahmu karya Ishack Sonlay,
menggunakan lensa makna dalam 5 kali pembesaran. Artinya bahwa pemaknaan akan
puisi-puisi Sonlay membutuhkan penjelajahan yang tidak sebatas pada kontemplasi
semata.Tetapi membutuhkan banyak pintu masuk untuk berdiam dan hanyut dalam
kontemplasi itu sendiri. Asumsi dari Afrizal Malna ini beranjak dari kecenderungannya
dalam membaca dan memaknai sebuahpuisi (Dari
Avontur ke Wasiat Kemuhar, Antologi Ulasan Buku Karya Penulis NTT, 2015: 48).
Agak berbeda dengan penyair lainnya, Ishack Sonlay dalam
tampilan puisinya menghadirkan beragam dinamika yang memiliki kekhasan
sehubungan dengan unsur dan struktur sebuah puisi.Dinamika yang saya maksudkan
di sini adalah kenikmatan yang ditawarkan. Salah satu diantaranya adalah tampilan bahasa
puisi (tertulis) yang tidak menonjolkan penyimpangan dan distorsi bahasa sehari-hari
(defamiliarisasi).
Ibarat mengunya kerupuk yang garing, pembaca akan dibawa
masuk pada situasi “santai tapi pasti”; tanpa harus berkerut kening untuk menikmati
lajunya imajinasi penyair. Namun, ketika menguak misteri di balik tubuh
puisinya, maka pembaca hendaknya mengindahkan konsep Afrizal Malna tersebut.
Selebihnya, dalam memaknai puisi Ishack Sonlay akan
muncul kecenderungan lain untuk membongkar atau mengungkapkan keterkaitan
unsur-unsur dalam teks puisi secara totalitas dalam menghasilkan makna (Teeuw,
1991: 135). Dengan kata lain, pemahaman terhadap teks sastra (puisi) harus
memperhatikan unsur-unsur yang membentuk dan menentukan sistem makna (Culler
dalam Pradopo, 1995: 41). Melalui format tersebut, para penikmat sastra
(pembaca dan kritikus) dapat menemukan karakter – kekhasan “bersastra” seorang
penulis (penyair).
Cepat Pulang Unu
adalah salah satu puisi yang mewakili kekhasan Sonlay dari ratusan puisi dalam Kuyup Basahmu. Berikut puisinya:
Cepat Pulang Unu
:unu
Lampara di pantai Timor
Tempat kita gantung kaki
Nyanyi Sioh Mama
Sambil hitung ikan dan lontar
Untuk cukup hidup sehari
Dua hari lalu ada pesta di Salore
Sakit hati e, lihat orang menari bertukar pantun
Sambil berjanji tanam jagung
Terlalu luka ini dada
Kenapa rindu harus dibayar api
Sungguh, setiap kapal yang masuk Tenau adalah air mata
Kalau burung dara sudah berkabar
Cepat pulang Unu
Itu tanda mau turun hujan
Siapa yang harus balik kita punya tanah?
Cepat pulang Unu
(12:44 Penfui, 30 November 2011).
Adanya keserasian dan pertalian makna dari baris yang
satu terhadap baris lainnya dalam setiap bait. Demikian pun dengan pertalian
makna antar bait. Tendensi puitik yang ditimbulkan oleh Sonlay didukung dengan
sarana bahasa, sensitivitas permenungan dan penghayatan akan makna (Esten,
2013).
Setiap kali membaca puisi tersebut, saya seperti sedang
mendengar percakapan dalam Telepon Tengah
Malam-nya Joko Pinurbo. Sederhana, tetapi menyiratkan keistimewaan makna. Perbedaannya,
Sonlay menampilkan monolog, sedangkan dalam puisinya Jokpin terdapat komunikasi
langsung (bahasa tulis) antara seorang ibu dan anak.
Oleh karenanya, puisi Cepat
Pulang Unu senantiasa menjadi langganan dalam setiap ajang apresiasi sastra
di dalam dan luar Kota Kupang. Yah, seberapa banyak hadirin yang terpaku
tatapannya, tergetar sukmanya, hingga merinding kuduknya kala mendengar
musikalisasi puisi ini yang dibawakan sendiri oleh penyairnya. Mengapa bukan
puisi lainnya? Kita telusuri lebih dalam “liarnya” imajinasi Sonlay.
Dalam ulasannya terhadap puisi Cepat Pulang Unu, Afrizal Malna menguak lokalitas (kosmologi
masyarakat lokal) yang dihayati Sonlay. Pada tahapan tersebut sangat dibutuhkan penelusuran
biografis penyair yang tidak terbatas pada mengulum ice cream, tetapi lebih
kepada mencabik serat daging tulang. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa
kritik yang demikian dilatarbelakangi oleh positivisme abad ke-19 (bukan
intervensi). Sonlay sendiri dalam gubahan puisinya seolah melakukan
pemberontakan terhadap quasi-epigon (struktur perpuisian zaman dahulu) dan
lebih mengarah kepada quasi-eksponen (menjanjikan kepuitisan masa depan). Di
sini, saya berusaha untuk masuk melalui pintu lain, selain pintu yang telah
dilewati Afrizal Malna (bukan sebuah pertentangan antara formalisme dan
positivisme). Tetapi tentang bagaimana menyelami misteri yang telah dibuka oleh
Afrizal.
Sense dalam puisi ini menyiratkan
kerinduan yang begitu mendalam. Perhatikan costume keseluruhan tubuh puisi, jika ditelanjangi (puisi)di sana
Sonlay seolah meratap tangis sembari memanggil pulang seorang Unu (orang yang dituakan – Kakak – anak
sulung). Sonlay membuka gerbang puisinya dengan nostalgia tentang kebersamaan
yang dirajut bersama Unu (sebelum
pergi merantau). Perhatikan bait pertama:
Lampara di pantai Timor
Tempat kita gantung kaki
Nyanyi Sioh Mama
Sambil hitung ikan dan lontar
Untuk cukup hidup sehari
Citraannya menghantar pembaca pada kehidupan masyarakat di pinggir pantai
yang bukan nelayan. Pilihan kata Lampara
pada baris ke-1 merujuk pada alat penangkapan ikan yang mirip dengan payang,
terbuat dari jaring yang berbentuk persegi empat, bagian tengah lebar, terdiri
dari sayap dan kantong (Subani, 1989). Lampara
menunjukkan pola kehidupan masyarakat pinggir pantai yang bukan nelayan.
Kebutuhan akan hasil laut (ikan) sebatas pada usaha untuk memenuhi tuntutan
lambung. Perihal ini didukung oleh pilihan diksi “lontar”. Demikian gambaran
akan situasi dimana buah lontar menjadi sasaran pengganti jagung dan umbian
lainnya (ubi) ketika kemarau panjang menjelmakan “kelaparan”. Secara eksplisit,
kemarau tidak ditampilkan Sonlay. Tetapi tersirat jelas di dalam puisinya
melalui pilihan diksi dan kata konkret yaitu “ikan dan lontar”. Jika ikan adalah hasil lautan; serasa asin,
maka lontar menghadirkan kegersangan
(kekeringan). Asin dan kekeringan inilah potret kemarau tersebut. Sehingga
dengannya, usaha keras menghitung ikan
dan lontar
untuk memenuhi penyambung
kehidupan dapat terpenuhi.
Sonlay mengajak pembaca untuk sejenak melantunkan lagu Sioh Mama. Berapa puluh tahun lalu, beta masih kacil e.
Beta ingat tempo itu, sioh mama gendong – gendong beta e, sambil mama bakar
sagu, mama manyanyi sioh buju e... (penggalan
lagu Sioh Mama). Dengannya hati begitu tergugah, bahwa puisi bukan sekedar luapan imajinasi,
tetapi lebih kepada nyanyian jiwa. Tanpa rima dan ritme, sisipan lagu dapat
menjadi stimulus dalam musikalisasi.
Pada bait kedua, kerinduan akan sosok Unu makin
“menggema”. Perhatikan bait ini:
Dua hari lalu ada pesta di Salore
Sakit hati e, lihat orang menari bertukar pantun
Sambil berjanji tanam jagung
Terlalu luka ini dada
Kenapa rindu harus dibayar api
Sungguh, setiap kapal yang masuk Tenau adalah air mata
Masyarakat NTT pada umumnya ketika menjelang musim bertanam hingga masa
panen akan melakukan berbagai ritual (upacara adat) dengan menari sembari melagukan
syair-syair adat (semacam berbalas pantun) dan berbagai cara lainnya. Semisal
di Sumba dengan pasola-nya, Flores
(Bajawa) dengan ja’i-nya, TTU dan TTS
dengan bonet-nya (bukan bonet
sebagaimana berjaga bersama orang yang telah meninggal), Belu dengan tebe-nya. Semua ritual tersebut memiliki
tujuan yang sama yakni pintaan kepada para leluhur dan yang Transenden agar
mencurahkan berkat pada benih atau bibit tanaman; yang nantinnya menghasilkan
panen berlimpah. Sonlay menggambarkan secara jelas ritual tersebut (khususnya di
Timor).Salore adalah nama sebuah
tempat di daratan Timor (Belu) yang mayoritas masyarakatnya bermatapencaharian
sebagai petani (ladang).
Situasi pesta selalu menjanjikan kegembiraan. Namun, di tengah keramaian
pesta ada sosok yang merasa sepi dengan gejolak rindunya yang kian terbakar.
Api sebagai tanda dalam semiotika-nya Pierce mengindikasikan asap (hubungan
sebab – akibat). Pada baris ke-2, kehadiran “e” selain sebagai dialek yang lazim
dilontarkan; mengisyaratkan pekikan “keluh”. Sonlay seakan membatin: “e kasian,
Unu kapan pulang? Cepat pulang Unu! Tidakkah kau kasihan pada adik dan
ibumu yang setiap saatnya mencumbui kesepian dengan sesak rindu di dada? Dada
su sakit, luka lagi. Cepat Pulang Unu!”.
Perhatikan baris ke-4, Kenapa rindu
harus dibayar api/. Api sebagai indeks dalam semiotika-nya Pierce
mengindikasikan hubungan sebab – akibat. Api dapat mengepulkan asap. Ketika
manari di sekitar bola mata, asap secara otomatis meneteskan air mata
seseorang. Sehingga baris ke-4 sebagai penyebab dan berakibat pada baris ke-5; Sungguh, setiap kapal yang masuk Tenau
adalah air mata/. Tenau adalah salah satu pelabuhan utama di Kota Kupang;
mengandaikan Unu tengah merantau di negeri seberang.
Selanjutnya pada bait terakhir, jika dibaca dengan intonasi naik – turun,
maka pembaca yang intens memaknai puisi ini tentunya saja meneteskan air mata.
Camkan bait ke-3:
Kalau burung dara sudah berkabar
Cepat pulang Unu
Itu tanda mau turun hujan
Siapa yang harus balik kita punya tanah?
Cepat pulang Unu
Ketidakhadiran Unu sebagai “penyakit rindu” telah dijumpai pada bait ke-1
dan ke-2 hingga pada klimaksnya bait
ke-3 ini. Kerinduan selalu saja memunculkan luka lama. Entah kehilangan, perpisahan
untuk sementara waktu atau perpisahan untuk selamanya. Pada bait ke-3, Sonlay
serentak menghadirkan beberapa situasi tersebut. Tangis kerinduan sekilas
terlintas dalam benak pembaca tentunya tertuju pada sosok Unu yang dirindukan penyair. Boleh dikatakan bahwa kelak Unu akan pulang sebagai wujud dari
perpisahan untuk sementara waktu. Pada tahapan ini, saya kembali melirik motif
penyair pada bait pertama. Menariknya di sana, penyair menghadirkan lagu Sioh
Mama. Mama
dalam citraan syair lagunya digambarkan sebagai sosok yang telah uban
rambutnya, keriput wajahnya, dan kurus raganya. Lalu, bagaimana dengan bait
terakhir? Jika diperhatikan secara saksama, Sonlay menyimpan sebuah misteri di
sana. Misteri apakah itu?
Unu sebagai anak sulung, anak yang dituakan, diharapkan
mampu menjadi nakhoda dalam sebuah keluarga kecil. Tanggung jawabnya setara
dengan status seorang kepala keluarga. Lantas, di manakah kepala keluarga yang
sebenarnya (ayah)?. Inilah misteri yang disembunyikan Sonlay. Sesungguhnya,
kehilangan – perpisahan untuk selamanya bersama seorang ayah telah dialami
penyair dalam posisinya sebagai the other.
Mengapa demikian? Yah, jika sosok ayah masih ada, Sonlay
tidak seharusnya memanggil Unu-nya cepat
pulang. Ketidakhadiran ayah tergambar dalam baris ke-4 bait terkahir, Siapa yang harus balik kita punya tanah? Pada kedua bait sebelumnya pun Sonlay tidak menghadirkan
sosok ayah. Hanyalah seorang ibunda dalam Nyanyi
Sioh Mama. Sehingga ketika menutup puisinya, Sonlay seakan menghendaki
pembaca untuk malantunkan lagu Ayah (nyanyikanlah!). Kerinduan terhadap Unu adalah suara nostalgik akan potret wajah ayah.
Dengan demikian, ketika berhadapan dengan puisi Sonlay, pembaca hendaknya
menempatkan posisinya sebagai ideal
reader atau setidaknya the real
reader, sehingga makna sebuah puisi dapat sampai dan bergeliat di dalam
hati. Sebab terkadang, penyair dengan sengaja “melupakan” selembar potret agar
pembaca tidak mengalami situasi intervensi. Pembaca diberi kebebasan untuk
memaknai dan menemukan berbagai “persembunyian” dari citraan penyair.
Biodata
Singkat Penulis
Herman Efriyanto Tanouf, lahir di Insaka, 25 Februari 1990. Kini sementara
menempuh pendidikan S1 di Universitas Nusa Cendana Kupang, FKIP – PPKn. Karya-karya termaktub dalam beberapa antologi puisi
bersama. Selain itu, karya-karya tersebar pada beberapa media lokal, media
sosial dan media nasional.
Comments